Hari Monoton

5 3 0
                                    

Tidak ada yang bisa aku banggakan dalam hidup ini. Setiap hari adalah rutinitas berulang. Sepanjang hari merupakan kehidupan yang harus dijalani hanya karena aku belum mati.

Seperti yang sudah-sudah, aku terbangun disubuh hari. Aku akan menelentang, menatap langit-langit kamar. Dulu sekali, langit-langit ini pernah berwarna putih cerah. Sekarang warnanya tak lebih kusam dari hidupku. Warna putihnya telah memudar, tergantikan kekuningan dengan bercak-bercak di banyak tempat, entah karena kotoran kelelawar, tikus, atau mungkin air hujan. Aku tidak tahu.

Prang. Terdengar perkakas jatuh.

"Itu pasti Bu Fitri," gumamku.

Aku menoleh ke samping. Tepat di sebelah kamarku, yang terpisahkan oleh tembok hijau, ada dapur. Barangkali Bu Fitri, Kepala Panti Asuhan, sedang memasak. Aku duduk di ranjang, mengikat rambut dengan karet yang semula aku gelangkan di lengan kanan.

Aku membalikan tubuh, menuruni tangga dengan perlahan. Di kamar ini, ada dua tempat tidur bertingkat. Namun, hanya aku satu-satunya yang tidur di sini.

Walaupun aku tidur sendirian, aku selalu mengunci pintu. Aku tidak menyukai siapa pun masuk tanpa izin.

Aku berjalan ke ruang sebelah. Benar saja dugaanku, Bu Fitri sedang berada di sana. Dia mengupas wortel.

"Selamat pagi, Nara," katanya seraya menoleh kepadaku.

Bu Fitri bertubuh pendek kurus. Ciri yang selalu lekat dengannya adalah kacamata. Bu Fitri pernah cerita, tanpa kacamata dunia terlihat buram. Saat aku melangkah mendekatinya, kacamata tebal Bu Fitri melorot.

"Selamat pagi, Bu. Masak apa kita hari ini?"

"Sayur sop dan ikan tempe."

Aku tersenyum. Tempe bukan jenis ikan. Tapi kurasa yang dimaksud oleh Bu Fitri adalah lauk tempe.

"Aku akan membasuh muka dulu," kataku.

Bu Fitri mengangguk. Tanpa berkata sepatah kata pun, aku berjalan ke ujung koridor. Di sana, aku menemukan Anggi yang baru saja keluar dari kamar mandi. Air menetes-metes dari muka perseginya.

Tahun ini Anggi berusia 13 tahun. Dia kelas satu SMP. Dari seluruh adik panti, Anggilah yang suka marah. Tak jarang pula aku melihat wajahnya sekecut belimbing wuluh. Persis pagi ini. Ketika aku tersenyum, dia hanya membalas dengan mulut mengerucut.

"Tumben sudah bangun?" tanyaku.

"Lagi galau," jawabnya singkat.

Anak sekecil ini sepertinya sudah mengerti cinta. "Anggi, bangunkan lainnya," pintaku.

"Tidak mau. Suruh Mbak Naura saja." Anggi menghentak, meninggalkan jejak kaki basah di lantai berkeramik cokelat.

Anak itu. Aku menggeleng. Dia memang pemalas. Karena tidak ingin berdebat di pagi hari, aku memutuskan untuk membiarkannya.

Sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku menemukan Naura sedang duduk di lantai. Matanya masih setengah terpejam. Naura adalah anak yang manis. Baik dilihat dari segi sikap maupun wajah. Dia tersenyum kepadaku, memperlihatkan dua lesung pipinya.

"Selamat pagi, Mbak Nara," sapanya.

"Pagi. Bangunkan yang lain."

Naura mengangguk.

Dari seluruh penghuni panti, aku paling menyukai Naura. Dia bisa diandalkan dan mau disuruh-suruh. Tahun ini dia kelas 2 SMP.

"Cuci mukamu terlebih dahulu dan bangunkan yang lain. Cepat sana."

"Siap, Bos." Naura membuat simbol lingkaran dengan jempol dan telunjuknya. Kemudian dia masuk ke kamar mandi.

Hari ini tidak akan ada bedanya dari hari kemarin. Setelah mencuci muka, aku membantu Bu Fitri memasak di dapur. Pagi ini aku memotong wortel, menjerang air, dan mengiris tempe.

Sihir Tring Tring (Trailer Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang