Si perempuan bukan duduk menyamping sebagaimana lazimnya, tetapi tubuh langsingnya berdiri di atas boncengan keranjang, tanpa berpegangan. Penampilannya pun terlihat jadul dengan kebaya kuning kunyit, kain jarik lurik serta rambut panjang sepinggang dikepang dua. Angin yang bertiup sedikit kencang membuat kepangan rambut itu tampak meliuk-liuk.
Lolongan panjang anjing hutan terdengar kian menyayat pilu. Ipan berdiri terpaku di tempatnya dengan tubuh yang terasa dingin. Semakin motor mendekat ke rumah, semakin dingin tiupan angin.
Wuuusshh....
Brett!
Lampu minyak di pegangan pun seketika padam. Rambut Ipan yang ikal sebahu sontak berantakan, menutupi pandangan.
"Hihihi..." Sayup terdengar tawa halus perempuan.
Motor bebek tambah mendekat. Lampu depannya menyorot terang ke tiang-tiang tinggi kolong rumah, terus meluncur ke jalan yang ada di samping, hingga tidak terlihat lagi, lalu suasana kembali hening.
Ali muncul dari pintu, sudah memakai kaos dan celana pendek. Disorotinya wajah bengong Ipan dengan lampu senter. "Heh, Pan, di sini kau rupanya. Pantas tak dengar aku teriak-teriak di belakang. Barusan bajuku dimaling orang pas lagi mandi."
"Pan, woy, Pan! Diajak ngomong diam saja." Rambut Ipan ditarik Ali hingga terjengkang.
"Aduh! Kelahikah kita?" Ipan spontan melayangkan tinju, tapi Ali gesit berkelit.
"Makanya diajak ngomong sama orang tu nyahut! Kalau mangap begitu mukamu mirip Sarpan lagi jongkok di jamban," ledek Ali, menyebut nama orang gila di kampung mereka, yang tambah hari tambah mirip dengan kawannya itu.
"Cih, macam kau lebih ganteng dari aku." Ipan mencebik. "Anu, Li, barusan ada orang datang pakai motor sama perempuan. Siapa, ya?"
"Palingan si Sani sama pacarnya yang diceritakan Dulah tadi," desis Ali.
"Tapi...."
"Sudahlah, tak usah mencampuri urusan orang. Asal tak mengganggu, biar saja!"
"Tapi... tapi, Li, perempuan itu...."
"Aku sudah lapar, mau masak. Barusan dikasih sarden sama indumi sama Dulah. Kau jaga di sini saja sampai pagi, biar semua kuhabisin sendiri, hehehe," selanya, terkekeh-kekeh setengah berlari masuk lagi ke dalam rumah.
"Enak saja, aku juga mau." Ipan gegas mengejar.
Mereka kembali keluar melalui pintu belakang, memasak bersama mie instan serta ikan kaleng di dapur, lalu membawanya ke ruang makan sambil mulut keduanya tak henti saling cela.
"Makan pakai nasi biar kenyang. Jangan khawatir, buat Sani sudah kusisakan dalam panci." Dulah sudah duduk bersila di atas tikar lampit, menghadapi sebakul nasi. "Jadi tak enak, tamu baru datang sudah masak sendiri," ujarnya lagi.
"Ah, kau ini, Dul. Aku sama Ipan jangan kau anggap tamu! Kami di sini buat kerja, bukan buat ngerepotin kau."
"Hasek! Makan, makan, makan!" Ipan bersemangat membagikan mie dari mangkok besar ke dalam tiga buah piring lebar.
"Haw, dibagi rata, Pan, jangan punyamu yang paling banyak!" Kening Ali bertarung, berusaha menjangkau mangkok yang di tangan Ipan.
"Dengki saja bawaanmu, Li!"
"Waluh bajarang! Hiyaaahh!"
"Argh! Tarung babanam!"
"Maaf, Sanak, waluh bajarang sama tarung babanam tak ada." sela Dulah mengernyit. "Kapan kita mulai makannya?" tanyanya, tidak bisa menyaksikan jika dua pemuda di dekatnya sedang gelut memperebutkan mangkok mie. Hanya terdengar suara ribut-ribut mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILUMAN PENGGODA
HorrorSiluman betina itu siap meruntuhkan iman lelaki yang datang ke sana. Sekuel SUSUR Baca SUSUR dulu sebelum ini Sudah tamat di aplikasi Joylada