#10

377 59 8
                                    

"San, kenalkan aku Ali." Ali mengulurkan tangan.

"Hoeeekh...." Darah segar tiba-tiba mengucur dari lubang hidung lelaki itu, membasahi dadanya.

"Astaga!" Ali terpekik menyaksikan.

"Ada apa, Li?!" Dulah ikut memekik.

"Sani berdarah!"

"Darah? Apanya yang berdarah?! San, kau baik-baik saja kah?!" Kedua tangan Dulah meraba-raba kasur di samping Sani, menemukan bahu kawannya.

"Cuma mimisan, Dul. Kau tak perlu sepanik itu," sahut Sani serak, meraih handuk kecil membersihkan hidung dan mulutnya.

"Mimisan itu bahaya. Penyakit jangan disepelekan! Sekarang masih berdarah kah?" timpal Dulah. Hidung kembang kempis mencium bau amis.

"Tak perlu khawatir, Dul, darahnya sudah berkurang."

Sani bohong pada Dulah. Darah dari hidung tampak masih menetes-netes. Disingkirkannya handuk putih yang telah berwarna merah ke dalam baskom, mengganti dengan sarung yang tersampir pada kepala ranjang untuk menahan darah yang masih keluar. Wajah tirus dan pucat itu tampak basah berkeringat.

"Macam mana tak khawatir, kalau kau sampai mimisan begitu? Kau ini sakit, San. Kau harus cepat dibawa berobat ke Mantri! Kebetulan sekali ada Ali sama Ipan. Mereka orang yang disuruh Pak Burhan untuk bekerja di sini. Mereka bisa bantu mengantarmu. Iya kan, Li?" Dulah menoleh pada lemari kayu di samping.

"Betul katamu, Dul," sahut Ali dari arah berlawanan dengan lemari, membuat leher Dulah ikut berputar.

"Aku akan siapkan baju Sani yang perlu dibawa." Dulah berdiri.

"Tak perlu ke mantri segala. Aku hanya kecapekan. Nanti juga sembuh sendiri," sergah Sani, mengusap tonjolan tulang-tulang dadanya yang dibalut kulit.

Dulah menghela napas. "Ini semua pasti gara-gara aku yang tak berguna ni. Selama ini Sani sendirian kerja keras merawat tanah Pak Burhan. Sementara aku..."

Dahi Ali mengkerut. Sani kerja keras merawat tanah Pak Burhan? Kerja keras dari Hongkong?! Nyatanya kebun kelapa serta lahan lainnya lebih terlihat laksana hutan belantara. Jalan-jalan setapak yang kemarin dilalui  pun sudah tertutup semak. Hampir Ali tak percaya akan menemukan rumah di dalamnya.

"Sementara aku yang buta ni bisanya hanya mengurus rumah. Entah beres, entah tidak semua yang kukerjakan, aku pun tak tahu. Kasihan aku sama kau, San. Kecapekan sampai sakit begini," lanjut Dulah, dengan nada bersalah, lantas menepuk kesal mukanya sendiri.

""Menurutku Dulah benar, kau harus segera berobat. Kami tak mau kau kenapa-napa. Aku tak keberatan mengantarkanmu ke Mantri," timpal Ali, meringis melihat darah beku yang masih tersisa di antara hidung dan mulut Sani.

"Hum, terima kasih, Sanak. Lihat saja sampai nanti siang. Sepertinya saat ini aku lebih butuh istirahat dari pada ke Mantri. Sendi-sendi tulang rasa lemas. Dul, bisakah buatkan aku teh manis buat minum setamol ( parasetamol)?"

Dulah mengangguk cepat. "Sebentar, kubuatkan ke dapur," ujarnya, memutar tubuh, melangkah melewati Ali kemudian keluar dari kamar berpegangan pada dinding.

"Apa yang bisa aku bantu, Sanak?" tawar Ali, dengan raut prihatin. Kini hanya ada dia dan Sani dalam kamar itu. Ipan tak juga muncul. Jangan-jangan tidur lagi tu anak.

"Oh, iya. Kau ambil belanjaan sembako yang kubeli kemarin, bawakan ke belakang!"

"Baik, di mana barangnya?"

"Di sudut kolong ranjang ini, Sanak." Sani menepuk kasur yang dia duduki.

Ketika menunduk, kening Ali mengernyit memperhatikan lantai kamar Sani. Tampak helai-helai rambut hitam yang panjang berceceran dekat kaki ranjang dan sekitarnya. Tidak mungkin kalau rambut itu milik Sani, rambut Sani cepak. Rambut Ipan pun tidak mungkin, yang ini lurus bukannya ikal.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang