Prolog

2.1K 97 14
                                    

Siluman betina itu siap meruntuhkan iman lelaki yang datang ke sana

*****

1.  PROLOG

Lengking panjang keririang mengikuti jejak tersendat Dulah. Dengan sebuah tongkat dan tanggui lebar pada kepala, lelaki muda bertubuh gempal itu berjalan melewati batang tinggi pohon-pohon kelapa. Tongkatnya menyapu tanah ke kanan kiri, berusaha menemukan pelepah kering yang telah jatuh.

Setiap angin berembus kencang, raut pemuda itu berubah tegang. Mendelik matanya sembari menelengkan kepala. Khawatir kelapa yang telah tua jatuh menimpa kepala.

Seekor ayam jantan sedang mengejar betinanya. Berisik mereka berlarian mengitari tubuh Dulah layaknya adegan roman film Bollywood. Tanpa sengaja kaki bertaji sang jantan menendang tongkat rotan Dulah. Benda penting itu dalam sekejap melayang entah kemana.

Sejurus kemudian Dulah terlihat sibuk merabai semak, sambil bersungut-sungut kesal.

"Ayam kada beahlak! Kemana kau lempar tongkatku, hah?!" umpatnya, memelototi rumput yang bergoyang.

Sepasang ayam pembuat masalah sudah asyik bercinta di balik tebal daun serai. Tersisa Dulah yang berjuang sendirian mencari tongkatnya.

Angin senja perbukitan bertiup semilir. Suhu udara berangsur dingin. Senja telah turun bersama kabut tipis. Lelaki malang itu masih belum beranjak dari kebun kelapa yang mulai remang. Duduk nyeker mencari-cari benda miliknya. Tanpa tahu jika seekor ular hitam mengkilap berukuran besar merayap turun dari atas batang kelapa, lalu dengan tenang meluncur masuk ke dalam semak tinggi. Sementara nyamuk-nyamuk mendengung usil di lubang telinga Dulah.

Gedebug!

"Aduhay!" Dulah menjerit kesakitan.

Jatuh beberapa buah kelapa mengenai tangguinya. Telinga Dulah sampai mendenging.

Dari kejauhan lamat terdengar tabuh-tabuhan alat musik tradisional serta suara banyak orang layaknya sebuah keramaian. Heran Dulah pada penduduk sekitar yang tak mengenal waktu. Mereka bukannya menghentikan kegiatan di penghujung hari.

Tak berselang lama seorang lelaki kurus bermata cekung muncul di antara bayangan gelap pepohonan. Jalannya terbungkuk-bungkuk, seolah membawa beban berat sekarung beras. Nyatanya tidak terlihat apa pun di atas punggung itu.

"Sedang apa kau, Dul?" tegurnya pada Dulah.

'Kau kah itu, San?" Dulah mendongak.

"Tadinya aku mencari pelepah kering. Lalu tongkatku ditendang ayam, tebawa jauh kaki mereka. Sedari tadi kucari-cari tak ketemu."

Sani mengamati Dulah sejenak, lalu membuang napas pelan. "Ada di belakang kakimu, sebelah kanan," ujarnya kemudian.

"Serius kau?" Kening Dulah serentak naik, mulut membulat. Gegas tangannya meraba sekitar kaki, tersenyum masygul mengetahui benda yang dicari ternyata tidak kemana-mana.

"Aku duluan, Dul."

'Kau datang tak sendiri kah?" celetuk Dulah. Hidung mungilnya bisa menghidu harum yang datang bersama Sani.

"Hum," gumam Sani tak acuh.

"Jangan kau bawa dia ke dalam! Aku khawatir kalau...."

"Sudahlah, jangan mengatur!" potong Sani.

Seperti yang sudah-sudah Sani tidak akan suka setiap Dulah coba mengingatkan. Dengan dahi berkerut dilanjutkan langkah beratnya menuju rumah panggung yang sudah terlihat dari situ.

Dulah menghela napas. Tidak seharusnya dia ikut campur urusan Sani. Bisa bekerja di tempat itu pun atas bantuan Sani. Siapa pula yang sudi mempekerjakan orang macam dirinya.

Teringat buah kelapa yang baru jatuh, Dulah berniat membawanya pulang. Tongkat mengetuk-ngetuk tanah lagi.

Ketemu!

Telapak tangan Dulah merasai dua kelapa yang tergeletak berdampingan di atas rerumputan. Dia hanya akan mengambil salah satu.

"Yang masih bagus kira-kira yang mana? Kanan apa yang kiri?" tanya Dulah pada dirinya sendiri, sambil menunjuki buah kelapa itu bergantian.

Untung saja Dulah tidak bisa melihat rupa ganjil dari salah satu kelapa yang berwarna lebih gelap dengan surai tipis. Benda bulat mirip kelapa itu sekarang sedang menatap tajam pada Dulah. Mulut penuh gigi kemerahan menyeringai. Namun, raut jahat itu kontan meringis, setelah beberapa detik kemudian golok Dulah mengayun keras.

Bugk!

Bunyi golok yang beradu dengan kepala.

"Jelek yang ini. Pasti daging buahnya sudah busuk," ucap Dulah. Menggunakan golok didorong buah kelapa jadi-jadian itu hingga berguling masuk dalam semak.

Wuuusshh....

Desau angin bertiup kian kencang, membuat daun beserta ranting kering beterbangan menerpa wajah Dulah. Tergesa dia memasukkan buah kelapa ke dalam kadut, sebelum beranjak menjauh dari bawah pohon. Tak lupa menyeret serta satu pelepah kering.

"Bang Toyib, Bang Toyib. Kenapa tak pulang-pulang? Anakmu, anakmu panggil-panggil dirimu...."

Melihat kedatangan Dulah, dari jauh si Unyil sudah bersenandung penuh semangat. Leher yang kecil bergoyang-goyang. Lagu diulang-ulang terus hingga Dulah mendekat.

"Tak ada lagi kah lagu lain yang kau bisa? Toyib saja yang kau tahu. Lama-lama kuganti juga namamu jadi Toyib, hehe." Dulah terkekeh.

Dinaiki Dulah undakan pelataran, lalu melepaskan pengait sangkar, membawa Unyil- burung beo peliharaannya itu ke dalam rumah.

Suasana dalam rumah gelap gulita. Belum satu pun pelita yang menyala. Bau harum Kantil terhidu lagi oleh Dulah. Dia kini mulai familiar pada aroma itu. Aroma pacar Sani yang beberapa waktu terakhir sering dibawanya pulang. Langkah Dulah melambat ketika melewati sebuah kamar.

Meski pintu kamar tertutup rapat, suara Sani yang sedang bercengkrama bisa terdengar jelas oleh Dulah. Kadang terdengar tawa genit perempuan.

"Semoga saja binimu tak pernah tahu kelakuanmu," gumam Dulah, dengan raut sedih.

Dia lalu berjalan berjinjit, khawatir bunyi langkahnya akan membuat Sani dan perempuan itu merasa terganggu.

Tubuh kecil Unyil dalam sangkar terlihat menggigil seperti orang yang kedinginan.

Note:
tanggui => topi lebar khas Kalimantan terbuat dari daun pandan/ daun nipah. Biasa dipakai petani/ nelayan untuk menahan panas dan hujan.


**********************************

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang