4.🍂

249 58 6
                                    

Hazmi kebingungan, sungguh nihil petunjuk akan alasan yang menyebabkan Tami tiba-tiba bersikap jutek. Sepulang mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan, Hazmi didiamkan total. Kala ia bertanya gadis itu kenapa, Tami malah menatap sinis dan kemudian membuang muka, menjauhinya. Padahal seingat Hazmi, ia belum membuat onar dari pagi.

Di jam pelajaran terakhir di mana gurunya absen dan hanya memberi tugas membuat rangkuman, Hazmi memanfaatkan kesemptan untuk membujuk sang sahabat. Posisi bangku mereka yang berurutan memudahkan Hazmi melancarkan aksi. Ia tekan pelan secara konstan punggung Tami, berusaha menarik atensinya, tetapi hingga ujung bolpoin ditusukkan agak kuat pun masih tak berhasil bikin Tami menoleh, Hazmi cuma bisa menghela napas panjang. Ia menyerah, untuk kali ini saja, pulang sekolah nanti dia bakal mencoba lagi. Sekarang Hazmi mau menuntaskan rangkuman dulu.

Saat Hazmi sudah menyelesaikan catatannya dan ternyata bel pulang belum berdering, ia pun berniat meluluhkan Tami lagi. Namun, begitu melihat ke depan, Hazmi mendapati sahabatnya menenggelamkan wajah pada lipatan tangan di atas meja. Senyum Hazmi terbit samar, lantas beranjak dari kursinya. Pemuda itu mendudukkan diri di kursi depan bangku Tami, menghadap ke belakang, menatap lamat-lamat kepala si dia yang sedang tertidur. Tangan Hazmi terulur, tetapi ketika jemarinya nyaris mendaratkan elusan di rambut hitam legam itu, Tami malah mendongak.

"Jangan sentuh gue," desis Tami masih dengan tatapan sesinis sebelumnya.

Tampang Hazmi sudah kelewat melas saat bertanya, "Ay, gue salah apa, sih?"

"Pikir sendiri!"

"Udah dipikirin, tapi gak kepikiran."

"Iya! Karena yang ada dipikiran lo cuma Vanya, Vanya, sama Vanya!"

Hazmi kontan mengernyit. "Kok, Vanya? Kenapa malah nyentil-nyentil Vanya? Lagian ngapain mikirin dia?"

"Ngeselin banget!" Tami merengut, ditamparnya punggung tangan Hazmi yang berada di atas meja. "Tadi di perpus kenapa gak gabung sama kelompok gue? Kenapa malah milih sama Vanya? Gue perhatiin asik banget lo becanda sama dia. Kenapa, hah?"

Mata Hazmi mengedip lambat, tangannya bergerak menggaruk pipi yang mendadak gatal. Ekspresi bingungnya itu bertahan sebentar lantaran ia akhirnya sadar; Tami cemburu! Hazmi tertawa keras sambil memukul-mukul permukaan meja kala mengerti alasan gadis ini ngambek.

"Jangan ketawa, Az! Gue sedih."

"Kan kelompok lo udah pas jumlah anggotanya, ya masa gue maksa masuk, Tam? Gak enak sama yang lain." Binar jenaka luntur dari mata cokelat Hazmi, berganti kelembutan berpendar dalam bayang-bayang sorot serius. "Makanya nanti-nanti lagi bareng gue ke perpusnya biar lo gak dipaksa ikut kelompokan sama yang lain. Tipe manusia gak enakan kayak lo itu emang harus didampingi manusia kejam yang enggak sungkan nolak permintaan orang kayak gue, Ay."

Tami mendengkus. "Sorry?" tanyanya remeh. "Yang people pleaser itu elo."

"Gue enggak."

"Az, beliin gue air."

"Oke."

"Tuh! Lo iya-iya aja."

Kekehan Hazmi lolos sebelum membalas, "Iya-iya aja bukan berarti people pleaser Ay. Kan situasional. Tergantung siapa yang minta dan apa yang dipinta. Elo cuma minta gue beliin air, dan gue gak keberatan. Kecuali lo minta gue petik bintang."

"Lo gak mau?"

"Bakal gue kasih sama langitnya."

Tami melengos, menyembunyikan kuluman senyum. Ah, pipinya menghangat. Cara Hazmi bicara memang seringan embusan angin, tetapi maknanya begitu mendalam.

Tami jatuh, makin jauh; tersesat di lorong panjang labirin rasa suka.

***

[✓] Good PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang