Pagi itu, para siswa penghuni kelas sembilan C yang tengah berleha-leha kontan mengeluh lantaran penggilan untuk mengikuti upacara bergema.
"Az! Mampus, Az!" Si cantik berujar dengan tampang panik, tangannya bergerak rusuh mengacak-acak isi tasnya. "Perasaan tadi udah gue masukin, deh. Tapi kok gak ada, ya?"
Pemuda dengan name tag Hazmi Liam Mahardika yang sejak tadi memperhatikan lantas melepas topi dan dasinya, mengangsurkan dua benda tersebut kepada gadis cantik pemilik nama Tami Dahayu. Hazmi mengulas senyum geli tatkala Tami melotot galak tanda tak suka atas bantuan yang dirinya coba berikan.
Tami menghela napas, menipiskan bibir sambil menatap kesal Hazmi.
"Pake lagi," titah Tami.
Hazmi menggeleng, cengengesan. "Lo aja yang pake, Ay. Gue tuh seneng tau dipajang di depan, berasa jadi artis, haha ... Nih—" Hazmi menggoyangkan tangan, mengode Tami supaya bergegas mengambil topi dan dasi dalam genggamannya. "Buruan ambil."
Tanpa ragu, Tami menyambar dua benda itu. Namun, alih-alih ia sematkan ke kepala sendiri, justru malah kembali Tami pakaikan dasi dan topi tersebut kepada pemiliknya. Tami lantas berdecih, tatapannya terhunus tajam ke wajah melongo Hazmi. "Az, gue tau lo sesayang itu sama gue, tapi jangan segitunya, dong. Sepenting-pentingnya gue, lo harus tetap mementingkan diri sendiri dulu."
Hazmi pasang tampang mengejek. "Gue tau punya rasa percaya diri itu adalah sesuatu yang keren, tapi lo kepedean. Sumpah, pede banget, dih."
Tami merengut. "Masih pagi, Az."
"Gak ada yang bilang udah malem."
"Ish!"
Hazmi meniru. "Ish!"
Tami tarik ujung topi Hazmi hingga menutupi mata pemuda itu, kemudian ia genggam erat tangan Hazmi dan menyeretnya pelan menuju lapangan.
"Sejarah, nih, gue bakal dihukum karena gak pake topi sama dasi." Tami berlagak menangis di sela-sela langkahnya menyusuri koridor kelas sembilan. Ia menoleh pada Hazmi. "Gue cantik gak? Kan bakal dipajang deket tiang bendera, jadi harus flawless. Gimana? Gimana? Gue gak kelihatan kusam, 'kan? Cantik, Az?"
Hazmi mengusap-usap dagu selagi meneliti wajah Tami, pura-pura mikir. Aslinya dia cuma punya satu jawaban untuk serentetan tanya tersebut. Apalagi? Sudah tentu cantik. Bagi Hazmi, Tami selalu jadi yang tercantik. Tiada dua, tidak ada tandingannya.
"Kok lama jawabnya?" Tami merengut. "Bagian mana yang jelek?" Tami beringsut melepas genggaman tangan karena harus meraba wajah sendiri.
Si pemuda dengan tone kulit tan tersebut mengulas senyum lembut.
"Gak ada, Ay." Hazmi berujar pelan seraya merangkul bahu Tami, menggiringnya lebih cepat karena pengumuman upacara akan segera dimulai terdengar nyaring dari arah lapangan. "Apa itu jelek, hah? Bukan kosakata yang bakal orang-orang temuin di diri seorang Tami Dahayu."
Tami mendengus geli, tangannya iseng menyikut pinggang Hazmi hingga menimbulkan ringisan dari pemuda itu. "Az, lo gak pernah ngomong begini ke cewek lain, 'kan?" Tami agak mendongak demi menatap tepat ke mata Hazmi yang irisnya serupa lelehan madu—cokelat terang.
Hazmi terkekeh. "Kenapa gue harus ngomong gitu ke cewek lain? Aneh."
"Berarti ke gue doang?"
"Apa, sih? Aneh lo, Ay."
"Bagus, deh."
"Dih, bagus lo aneh?"
"Bukan," Tami merunduk demi menyembunyikan rona merah yang samar-samar menggores pipi. "Bagus karena cuma gue yang dapat pujian kayak gitu." Kemudian, senyum perempuan itu terbit malu-malu.
Senyum jahil mengembang di bibir Hazmi yang menyadari perempuan dalam rangkulannya ini sedang salah tingkah. "Gue enggak muji lo, sih."
Tami refleks membawa atensinya pada wajah Hazmi lagi. "Lo iya barusan!"
"Enggak, Tam."
Tami menghentikan langkah, Hazmi otomatis mengikuti. Kini mereka saling tatap dengan sorot bertolak belakang; Tami kesal, Hazmi cengar-cengir puas.
Keduanya sekarang memijak teras kelas sembilan A, tempat upacara berada tepat di depan mereka. Di lapangan, para peserta sudah nyaris menempati posisi masing-masing, dan murid-murid pembangkang yang tak mentaati peraturan juga sudah berbaris rapi di sebelah tiang bendera. Disitulah Tami akan berdiri sebentar lagi akibat atributnya tak lengkap.
"Jangan bikin gue marah, ya?" Tami berkacak pinggang. "Tadi, secara gak langsung lo muji gue sempurna."
"Kesempurnaan itu milik Allah, Ay."
"Ish! Serius, Az!"
Hazmi tertawa. "Eh, gue mendadak mules." Lantas, ia lepas topi dan dasinya untuk kemudian disodorkan kepada Tami. "Pegangin dulu, ya? Gue mau ke WC. Lo duluan, hush! Hush!"
Tanpa menaruh curiga, Tami pun menyambarnya, lalu memukulkan pelan topi tersebut ke dada Hazmi. "Jangan lama!" sentaknya sebelum putar badan dan berjalan ke lapangan.
Di lapangan, topi dan dasi milik Hazmi Tami pakai dulu selagi menunggu pemiliknya datang. Namun, hingga aba-aba bahwa upacara akan dimulai, pemuda itu tak kunjung merapatkan diri ke barisan anak-anak kelas sembilan C. Tami mulai resah. Ia celingak-celinguk mencari eksistensi sahabatnya, dan persis ketika sang pemimpin upacara maju ke tengah lapangan untuk membariskan peserta, tatap Tami menangkap keberadaan seseorang yang sedari tadi dicarinya.
Hazmi tahu-tahu ada di sana, berdiri di dekat tiang bendera dengan ekspresi wajah serius. Pandangan mereka kemudian bertemu. Tami bergeming tatkala melihat Hazmi menyungging senyum tipis sambil menganggukkan kepala, seolah-olah memberi Tami isyarat bahwa dirinya baik-baik saja.
***
— Hazmi —
— Tami —
— Kenan —