Siang itu, ketika kelas Sembilan C kebagian jadwal olahraga, Hazmi dan Tami duduk di tepi lapangan sambil menonton teman-teman mereka bermain voli. Hazmi mengibaskan tangan di depan wajah, berusaha mengusir gerah, pasalnya ia baru selesai futsal beberapa menit lalu. Sementara Tami sendiri tak berkeringat sama sekali lantaran memang belum melakukan olah raga apa pun dikarenakan tak enak badan. Jad sedari tadi perempuan itu hanya mengikuti sang sahabat ke sana-sini.
"Az."
Hazmi yang baru saja mengubah posisi duduk jadi selonjoran lantas menoleh. "Apa?" tanyanya seraya mengulurkan tangan ke dahi Tami, mengecek suhu tubuh gadis itu. Ia mengangguk lega kala mendapati panas di badan Tami tak lagi tinggi. "Pusing? Ke UKS, yuk?"
Dibalas gelengan oleh Tami.
"Terus kenapa?"
"Mau nanya."
"Kayak Dora."
Tami mencebik, lantas menabok lengan sahabatnya. "Serius, Az!"
Setelah melepas kekehan geli, Hazmi mengangguk mempersilakan. "Apa?"
Sebelum bertanya, Tami lebih dulu merapatkan tubuh ke sisi Hazmi, menyandarkan kepala ke bahu pemuda itu. "Bahasa Inggrisnya—"
"Tam," sela Hazmi, "lo tau kan gue goblok banget kalau ditanya bahasa Inggris?" Mendengar balasan berupa tawa, Hazmi tepuk saja kepala si dia yang sandaran di bahunya. "Tawa lu!"
Tami merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel, lalu menyodorkannya ke Hazmi.
"Apa?" Hazmi clueless.
"Buat translate."
"Buset." Hazmi tertawa. "Emang penting banget sampai gue harus buka terjemah segala? Lagian buat ap—"
"Az—" Tami tak mau memberi Hazmi kesempatan untuk berbasa-basi. "Apa bahasa Inggrisnya sangat halus?"
Meski mulutnya meloloskan decakan, tetapi jari Hazmi tetap mengetik sangat halus. "Downy?" gumamnya sambil membaca hasil terjemah yang tertampil di layar. "Bener gak, Tam?"
"Betul. Lagi, ya?"
"Oke."
"Sangat pintar."
"Gue," balas Hazmi. "Aw! Sakit, Ay!"
"Makanya serius!" Tami misuh-misuh usai mencubit lengan sahabatnya.
"Brilliant," ulang Hazmi.
"Sangat marah?"
"Ini gue bentar lagi marah karena lo kebanyakan nanya, Tam. Seriusan."
Tami tertawa parau, tetapi tak peduli pada protesan Hazmi. "Sangat marah?" Ia mengulang sambil mengusakan pipi ke bahu Hazmi, kemudian menggamit lengannya. Gadis itu mulai clingy.
Merasakan gesekkan di bahu, Hazmi pun memiringkan kepala demi melihat wajah Tami yang agak menunduk. "Ke UKS aja, yuk?" Sebab jika Tami bertingkah manja begini, biasanya itu pertanda sakitnya serius. "Tam, yuk?"
"Bentar, gue belum selesai nanya."
"Nanyanya sambil jalan ke UKS."
Tami menegakkan pundak, menatap Hazmi dengan mata yang sayu. Wajahnya tampak pucat. Fix ini sih Tami memang sedang tidak dalam kondisi sehat. "Gendong gue, Az~"
Hazmi menghela napas panjang, berlagak keberatan, tetapi sejurus kemudian ia putar badan dan membawa badannya agak condong ke depan, memberi Tami kemudahan untuk naik ke punggungnya. "Ayo."
Si cantik kontan cengengesan walau tampangnya lesu. Ia berdiri, lalu melompat ke punggung Hazmi hingga pemuda itu agak terhuyung. Sambil mendengarkan gerutuan Hazmi, Tami membawa kedua lengannya untuk memeluk longgar leher sang sahabat.
Hazmi mulai mengambil langkah menuju UKS. Di lorong yang lengang, Tami kembali melanjutkan tanyanya.
"Bahasa Inggris sangat marah apa?"
"Furious."
"Kok, tau, Az? Kan gak pegang ponsel?"
"Soalnya udah gue translate pas nonton Fast Furious," balas Hazmi.
"Ah, I see."
"Next question!"
"Wah, langsung sombong ini manusia." Tami terkekeh tepat di sisi cuping telinga Hazmi, membuat pemuda itu kegelian. "Kalau sangat sedih?"
"Sorrowful."
"Ih, lo pinter ternyata, Az. Haha ...." Sambil menyandar di bahu Hazmi, sambil menghidu wangi manis yang menguar samar dari leher pemuda itu, sambil memejam, Tami melepas tanya terakhirnya, "Kalau sangat cantik?"
Balasan tidak datang dengan cepat lantaran Hazmi harus mengingat-ingat. Sebentar, beri dia waktu, memorinya harus digali dulu. Setelah lima belas detik berlalu, jawaban akhirnya ketemu. Namun, tiba-tiba saja ide cemerlang meledak di kepala Hazmi.
"Coba ulang pertanyaannya, Tam."
"Bahasa Inggris sangat cantik apa?"
"You."
Senyum si cantik seketika merekah di bawah cuping telinga Hazmi yang memerah. Tami masih memejam, tetapi dalam gelap pandangan itu, ia dapat merasakan debaran jantungnya yang menggila. "Lo peka juga, ya, Az."
***