Bulir bulir air turun mengguyur sebagian kota besar di wilayah xxx. Menyirami tempat dimana yang kini menjadi pijakan sang pemuda yang tengah melamun menatap kearah luar jendela kamar yang menjadi saksi bisu dirinya menangis meratapi nasib.
Dia yang terlahir dari rahim seorang perempuan belum menikah, tanpa tau siapa gerangan sang ayah yang selama ini berharap mencarinya.
Ia tinggal bersama keluarga dari pihak ibu, dengan sang kakek yang menjadi pahlawan selama beliau masih bernafas dan berada disisinya.
Tinggal bersama nenek kakek jelas menjadi sebuah keberuntungan, meski kerap sekali dirinya dihina oleh orang lain sebagai anak haram dan pembawa sial.
Beruntungnya, ia adalah siswa SMA tingkat akhir yang mana empat hari kedepan adalah hari-hari akhir dirinya berada di sekolah.
Sebuah figura kecil, menjadi objek penglihatannya saat ini. Mendiang sang kakek yang meninggal satu bulan yang lalu, bukan karena kecelakaan, bukan pula karena sakit. Beliau pergi meninggalkannya dalam keadaan sehat bahkan sempat tidak di percayainya kala melihat bagaimana kakunya tubuh sang kakek, hal tersebutpun menjadi sebuah sakit hati yang teramat dalam.
Hyunjin, mengambil figura itu. Mengelus bagian wajah sang kakek dengan lagi-lagi bulir air mata harus berjatuhan, mengingat kenangan kenangan yang selalu di berikan oleh beliau begitu indah.
Tidak bisa ia bayangkan, jika dirinya tidak di besarkan oleh beliau. Atau sang kakek turut membencinya seperti sang nenek bersama anak cucunya yang lain, akan seperti apa hidupnya selama ini.
Menyedihkan bukan? Namun memang itulah yang di terima Hyunjin mau tidak mau. Menanggung resiko dari orang dewasa yang tidak bertanggung jawab.
"Kakek... Dukung aku dari sana ya, besok aku ujian kelulusan. Tapi, gak apa-apa kan aku gak lanjut kuliah, gak akan ada yang mau biyayain aku kek kalo langsung lanjut kuliah."
Hyunjin tersenyum kecil setelahnya, meski air mata terus mengalir hingga ia dekap foto sang kakek dengan amat sangat sayang.
Pemuda berusia 18 tahun itu, kini terasa sendiri bak seorang sebatang kara.
Hanya dengan kakeknyalah ia hidup, yang selalu membelanya, dan selalu menguatkan apabila dia terlihat rapuh.
Berhari-hari telah dilalui, kini kelulusanpun sudah ada di tangannya. Senyum tipis terpatri diwajahnya yang begitu menawan, sesaat setelah membaca tulisan LULUS yang tercetak jelas di sebuah kertas dalam genggamannya.
Mata sipit nan indah, menatap setiap canda gurau teman-temannya bersama orang tua mereka masing-masing. Meskipun sebagian orang lain memilih untuk datang tanpa orang tua, setidaknya itu tidak membuatnya merasa sangat terpojok mengingat ia tidak memiliki orang tua.
Hyunjin rasa, dirinya sudah cukup hanya mengambil kelulusan untuk nya. Tidak usah ikut acara party nya yang biasa di adakan sampai sore hari, jadi dirinya bergegas pulang atau mungkin belum pulang sebenarnya.
Berjalan di keramaian siang hari, selama 20 menit berlalu, Hyunjin tiba di sebuah resto kecil yang bersedia memperkerjakan nya menjadi seorang pramu saji disana. Setidaknya ia tidak usah pusing memikirkan kemana dirinya harus melanjutkan jika dia saja sudah bekerja di tempat makan itu.
Segera saja, ia berganti pakaian. Dari awalnya formal kini menjadi baju pelayan biasa dengan langsung membantu teman kerjanya disana.
"Hyunjin!"
Hyunjin menoleh seketika, saat namanya di panggil oleh salah seorang barista di belakang pantry sana.
"Iya kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Umbuk Asmaraloka
Fiksi PenggemarCerita ini, hanya kisah seorang remaja yang putus asa dengan kehidupannya sendiri. Telah di tinggalkan orang terkasih serta di tendang dari rumah yang telah menjadi saksi bagaimana ia tumbuh dalam kesengsaraan.