Chapter 17. Bram dan Salmon-Salmon

1.5K 244 9
                                    

Sulit rasanya menerima kenyataan yang terucap dari bibir Ansel. Namun sekuat apapun Mia menolak, dia juga pernah memikirkan hal yang sama.

Mia hanya mengambil jeda sejenak untuk menetralkan napas. Seorang nenek melintas di sisinya dan bertanya apakah dia akan membeli brokoli yang ada di tangannya karena bongkahan itu terlihat kecil dan harganya lebih murah. Mia tersenyum dan menyerahkannya.

Petugas kasir toko memindai barangnya satu per satu. "Tujuh ratus delapan puluh ribu enam ratus rupiah," sebut petugas kasir usai mengutak-atik mesinnya. "Mau dimasukkan ke tagihan Pak Malik?"

"Ya, tolong," jawab Mia singkat.

Mia berjalan cepat. Permukaan berpaving dan trolinya yang berat agak membuat tubuh mungilnya pontang-panting kewalahan. Matahari bersinar cukup terik, mengucurkan peluh di kening dan membasahi punggungnya. Sebelum melewati setengah perjalanan menuju mobil, Mia menyadari seseorang mengikuti langkah-langkahnya.

"Mia!" dan memanggil namanya.

Mengenali suara itu, Mia pun berhenti mendadak dan memutar tubuhnya. Dengan satu tangan ia menahan troli, membiarkan napasnya lepas terengah. Dia mendapati Bram berjalan cepat ke arahnya sambil melesakkan topi di kepalanya. Mia menyingkir dari kereta belanja yang didorongnya ketika pemuda itu tiba di depannya. Mereka berhadapan. Bram menatap ke bawah, tapi Mia justru menunduk dan mendesah berat. Tubuh Bram yang tinggi menjulang menaungi Mia dari terik sinar mentari yang menyengat.

Tanpa kata-kata, Bram menyentuh pundak Mia. Sementara pemuda itu mengambil alih troli, Mia kembali memutar kaki kirinya dan berbalik sangat lambat.

Mia menekan pengendali jarak jauh di tangannya beberapa meter sebelum mereka mencapai mobil. Bram dengan sigap membuka pintu bagasi, mulai memindahkan barang belanjaan pelanggannya satu per satu ke dalam. Sementara Bram sibuk mengatur agar barang-barang itu muat di sana, Mia  bersandar di mobil. Melamun dengan wajah tertekuk.

Bram sesekali mengawasinya. Dia baru bertanya setelah pekerjaannya selesai, "Kamu nggak apa-apa?"

Dari saku jaket, Mia mengeluarkan ponsel dan menimangnya. Alih-alih melakukan sesuatu atau menjawab pertanyaan Bram, Mia hanya memandangi layar ponsel itu sambil menggigiti kukunya.

"Dia gangguin kamu?" tanya Bram lagi. "Kelihatannya kalian berdebat lumayan sengit di dalam. Johan yang minta aku ke sini buat meriksa keadaanmu."

"Aku nggak apa-apa, cuma teman lama," kelit Mia, menghela napas.

"Dia tinggal di sebelah rumahmu, kan? Aku ngelihat dia waktu naruh peti es di dapurmu. Kupikir, karena kamu mungkin lagi di atas, aku mau bukain dia pintu. Tapi dia keburu pergi habis mencet bel—"

"Bram, aku udah bilang tinggalin aja peti es-nya di depan pintu!" potong Mia gusar. "Dan kamu nggak seharusnya ngebukain pintu buat siapapun, apalagi saat Malik nggak ada di rumah."

"Aku tahu," tanggap Bram tenang. "Sorry."

"Jangan bilang ke Malik soal ini dan aku nggak akan bilang ke Malik kamu ngelanggar larangannya."

Bram menyatukan alisnya di tengah. Kegugupan Mia justru membuatnya semakin curiga, "Berarti dia memang gangguin kamu, kan?"

"Enggak. Memangnya dia mau gangguin aku kayak gimana kalau dia tinggal di sebelah rumahku?" sergah Mia yang mulai tak sabar, tapi tetap berusaha meyakinkan Bram. "Dia suami Irma Kalia. Kamu pernah dengar Irma Kalia? Orang yang barusan itu... dia suaminya—"

"Aku nggak tahu Irma Kalia sebelum dia bikin heboh tempat ini kemarin," kata Bram santai. "Aku nggak pernah nonton TV. Aku malah baru tahu kalau dia artis di sini. Di Jakarta, karena sudah biasa ada artis datang, aku nggak sadar dia siapa. Ini bukan pertama kalinya aku ngelihat perempuan itu. Dia pelanggan lama di toko Jakarta. Nggak datang sesering itu, tapi beberapa kali. Dia juga sudah mampir ke sini."

SwingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang