Musuh Seumur Hidup

189 34 3
                                    

"Ada apa?" Rengganis yang baru saja turun dari lantai dua mengernyit heran, dari balik pintu kaca yang menghubungkan meja teller dan ruangannya, Rengganis bisa melihat beberapa teller sedang berkumpul di meja Shiena sore ini yang terlihat menangis tersedu sedikit meracau.

"Diputusin Pak Bos, katanya." Kamila teman dekat Rengganis menimpali, Rengganis manggut-manggut.

"Ooh kasihan." Rengganis berucap seadanya, Kamila malah terkikik lucu.

"Sebagai atasan lo harus menghibur dia dong, Nis."

"Sebagai atasan gue udah berusaha menjelaskan bahwa dalam satu kantor tidak ada yang boleh pacaran atau menikah."

Kamila lagi-lagi tertawa pelan, Rengganis melangkah pelan mendorong pintu kaca dengan pelan, beberapa anak buahnya berbalik ke tempat duduk mereka begitu Rengganis masuk, jam menunjukkan pukul empat sore saat ini waktu tersibuk untuk semua teller menghitung kembali setoran mereka.

"Ada apa ini?" Tanya Rengganis pura-pura tak tahu. "Sudah sampai mana? Kalian gak mau lembur kan?"

Diam tak ada yang menjawab, Rengganis menjatuhkan pandangannya kepada meja Sienna yang sedang menyembunyikan wajahnya.

"Sienna?"

"Iya Bu," jawab gadis tersebut tanpa menoleh.

"Kenapa menangis? Kamu minus?"

"Enggak Bu," jawab Sienna yang kali ini menoleh dengan wajah sembab.

"Oke, lanjutkan pekerjaan. Satu jam lagi selesai ya, saya gak mau lembur."

"Baik, Bu." Jawab kesemua orang yang ada di ruangan tersebut. Rengganis kembali lagi mendorong pintu untuk masuk.

"Gila sadis banget! Mentang-mentang pernah ditolak Pak Bian jadi jahat begitu bukannya menenangkan crew-nya!" Urai salah satu teller yang duduk tepat dibelakang pintu kaca.

Rengganis hanya menghela napas pelan sudah tak heran jika ada pembicaraan seperti itu, wanita tiga puluhan ini tak mau ambil pusing karena apa yang mereka bicarakan tak terbukti, walaupun semua keluar dari mulut Biantara yang Rengganis cap sebagai musuh seumur hidup, pria tersebut sering melemparkan ucapan atau pun lelucon semaunya tanpa tahu bahwa orang-orang disekitarnya tak sama dengan dirinya yang pemikir keras, mana ada sejarahnya Rengganis ditolak Bian, keduanya memang saling berhubungan tapi tak lama karena Rengganis yang tak tahan dengan otoriter pria tersebut, egois yang terselubung dengan pekerjaan sudah kenyang ia cicip sampai saat ini.


Setelah menyerahkan laporan pendapatan ke divisi keuangan, Rengganis pulang ketika jam hampir menunjukkan pukul setengah enam sore. Berpamitan dengan satpam, wanita tersebut memanjangkan leher mencari keberadaan honda Crv hitam milik Arzio yang biasa terparkir di depan jalan, Rengganis melambai begitu pria berkemeja putih dengan dasi biru dongker melambai kepadanya dari sisi kiri parkiran, Arzio sedang duduk berbincang dengan Pak Asep tukang tambal ban yang buka 24 jam.

"Rengganis."

"Lho, Arga? Ngapain?"

Nakula Arga teman satu tempat tinggal Rengganis sudah berdiri dihadapannya, wajah tampannya tampak segar sore ini.

"Beli kopi?" seraya menunjuk satu cup besar es kopi dengan logo premium tersebut. "Mau pulang? Yuk barengan."

Rengganis nyengir tak enak hati, "jauh banget minum kopi di sudirman. Enggak deh gue sama Zio," ucap Rengganis seraya menunjuk keberadaan sang pria kepada Arga. Zio mengangguk pelan begitu pun Arga.

"Kurang gercep gue ya? Bian udah pulang?"

Rengganis menoleh kepintu masuk lalu menggeleng menandakan ia tak tahu, Arga tertawa geli.

Bedeng Warna-WarniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang