Jilid 1 [Panic Attack]

38 3 4
                                    

Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad.

"Cinta itu sesuatu yang tak pernah terduga, bisa datang kapan saja, bisa hadir melalui perantara apa saja."

___

"Kasihan, pasti lo dicuekin lagi ya sama Cindy?" ejek Anwar saat Hamdan menumpukan kedua sikunya di meja kasir, sekadar mampir setelah jadwal visit nya selesai.

"Diem lo! Bikin tambah badmood aja," jawab Hamdan dengan muka suntuk. Seperti cewek yang sedang datang bulan.

"Cari aja yang lain, Dan. Populasi perempuan di bumi ini semakin banyak lho, ngapain lo pusing ngejar-ngejar satu cewek kayak Cindy yang cuma cinta sama temen lo, si Naufan itu."

"Heh! Siapa bilang gue pusing gara-gara dicuekin Cindy? Justru Cindy itu mood booster gue! Sotoy amat lo! Gue pusing mikirin biaya servis si Jaki yang lagi down di bengkel!" Fyi saja, si Jaki itu motor setia Hamdan sejak jaman maba.

"Anda dokter?" tanya Anwar out off the topic.

"Nggak nyambung lo!" balas Hamdan agak emosi.

"Dokter kok miskin!" sambung Anwar mengejek, tapi suka bener sih. Temannya itu kelewat bar-bar kalau ngomong. Untung temen main dari zaman minum es cekek. Jadi dibuang sayang.

Tapi tetap saja Hamdan agak kesal dikatain Dokter miskin, walaupun pun memang iya sih, secara dia kan masih Dokter Intership yang gajinya belum seberapa. Sembari mengelus dada Hamdan membela diri, "Astaghfirullah, ente kadang-kadang ente ye, kalau uang gajian gue nggak dipakai buat bayarin traveling doi, mungkin bulan ini gue masih punya banyak duit."

"Berarti salah sendiri dong. Kasihan, udah keluar duit banyak, lamaran tetap ditolak." Anwar ngakak diakhir kalimatnya. Memang tipikal teman tapi musuh ya? Sudahlah, Hamdan tak ambil pusing, ia lelah dan akhirnya beranjak pergi.

"Eh bro! Mau ke mana! Ngambek lu?"

Baru lima langkah Hamdan berjalan namanya sudah dipanggil lagi. Kali ini ia kedatangan pasien baru, yap! Sudah bisa ditebak? Dia gadis berpakaian serba panjang, keluhannya ialah sesak nafas. Dia adalah pemeran utama wanita dalam cerita ini, Ayasha Clarina Rizqi.

Setelah infus terpasang, gadis itu lumayan agak tenang, walau wajahnya masih memperlihatkan ketegangan.

"Namanya Nona Ayasha Clarina Rizqi, dok. Mohon diperiksa," bisik seorang suster berhijab oren menghampiri Hamdan.

"Permisi, dengan Nona Ayasha? Apa keluhannya sekarang?"

"Nafas saya sesak, jantung saya berdebar-debar, kaki sama tangan saya juga dingin, Dokter. Saya kenapa ya, Dok?" ungkap Ayasha panik, matanya berlinang seperti ingin menangis tapi ditahan.

"Oke, saya periksa dulu ya," jawab Hamdan seraya menempelkan stetoskop di area perut dan dada atas Ayasha yang masih tertutup bajunya. Hamdan mendengar dan menangkap baik-baik bunyi dan getaran pada alat itu.

"Apa sebelumnya kamu punya riwayat penyakit paru-paru?"

"Nggak Dok, jadi saya sakit paru-paru dok?" tanyanya semakin pucat.

Hamdan menggeleng sambil melepas stetoskop dan mengalungkannya di leher, "Di tahap observasi ini sih, nggak ya, yang kamu rasakan ini gangguan dispepsia, jadi tenang dulu, kalau panik pasti tambah nyesek."

"Tapi jantung saya berdebar-debar nggak karuan Dok, pikiran saya jadi negatif," adu Ayasha dengan cemas. Keringat bermunculan membasahi ciput di dahinya.

"Kamu ... lagi mens, ya?"

"Nggak dok."

"Atau mungkin punya gangguan anxiety?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dokter Hamdan is Mine!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang