Chp 02

125 28 4
                                    

Jangan pelit vote gak boleh! Ntar ceritanya gak lanjut 😤

_________

Kamar itu tak memiliki pencahayaan lampu manapun. Bahkan bulan tak muncul malam ini. Di pojok kamar seorang gadis memeluk lututnya sendiri, menangis sesegukan karena sakit di hatinya.

Tadi siang, seseorang yang amat sangat berharga dalam hidupnya telah meninggal. Luka besar yang tertoreh di hatinya masih begitu basah, sesak di dadanya semakin menjadi kala oksigen seolah menyempit.

Dia terus menangis berharap sosok itu datang memeluk tubuh ringkihnya seperti yang selalu dilakukannya. Namun kenyataan menamparnya, kini seseorang itu bahkan tak bisa membuka matanya lagi.

"Nii-san... Hiks... Kau berbohong..." Racaunya pelan dengan posisi menenggelamkan wajahnya pada lutut yang di peluk.

Tak lama, gadis itu bangkit dari duduknya menatap sekelilingnya yang begitu gelap. Langkahnya menuju jendela dan membukanya.

Seketika angin malam dengan bebas menguasai seluruh ruangan itu. Hawa dingin menusuk kulitnya yang mulus, tetapi itu tak bisa ia rasakan. Karena sakit hatinya lebih besar dari pada rasa dingin yang ia rasakan.

"AAAAAAAA!!! KAU BERBOHONG! KAU BILANG TAK AKAN MENINGGALKANKU! TAPI APA, KAU PERGI LEBIH DULU DAN MENINGGALKANKU SENDIRI DISINI!!," gadis itu mulai berteriak melampiaskan sesaknya pada malam yang dingin.

"NII-SAN!! KAU MENDENGARKU! KENAPA? KENAPA KAU PERGI LEBIH DULU?! BAGAIMANA DENGAN ADIKMU INI, APA YANG HARUS AKU LAKUKAN TANPAMU!!."

Dadanya semakin sesak, tangan kanannya begitu kencang memukul dadanya berharap rasa sakit ini mereda. Bukannya mereda, rasa sakit itu semakin menjadi dan membuat hatinya seolah tercabik-cabik.

Tubuhnya terduduk tak bertenaga. Menangis dengan keras membiarkan malam menyaksikan kesedihannya ini.

"Apa... Yang harus... Aku lakukan... Tanpamu... Nii-san... Hiks..."

Bisakah maut menjemputnya juga? Orang tuanya telah tiada setahun yang lalu. Dan sekarang, keluarga satu-satunya pun ikut pergi meninggalkannya dan mengingkari sebuah janji yang di buatnya.

"Jangan menangis, (name), walau mereka sudah tiada, aku masih tetap disini bersamamu. Aku janji."

Janji? Apa gunanya janji itu saat si pembuat janji itu sendiri telah mengingkarinya. Janji mana lagi yang akan dia percaya? Semua itu hanya omong kosong!

Gadis itu menjambak rambutnya frustasi, memeluk keras menyuarakan betapa sakitnya hati ini. Menyuarakan betapa kejamnya takdir yang berani merenggut hal berharga darinya.

Ingin sekali dia berlari sambil berteriak memaki dunia dan menistakan takdir. Tapi apa boleh buat, dia hanya seorang pembuat wacana karena si pemegang skenario hanya Tuhan itu sendiri.

"Kami-sama... Tolong kembalikan dia padaku... Aku tak bisa tanpanya..." Mohonnya walau kita sama-sama tau itu adalah hal yang mustahil.

Kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidup memang adalah hal paling menyakitkan. Apalagi ketika hanya dialah yang menjadi tempat kita pulang untuk mengadukan keluh kesah yang dialami.

Kamu pernah kehilangan seseorang?

Gadis itu merasa ia ditarik masuk oleh lubang keputusasaan. Mengurungnya dalam kegelapan tak berujung. Membiarkannya meraung kesakitan.

Terus menerus memukul dadanya berharap oksigen cepat masuk dan membuatnya lega. Tangisnya perlahan mereda bersamaan dengan napasnya yang kembali normal.

Merasa air matanya telah habis karena sejak siang tadi ia menangis tak henti-henti. Wajahnya terlihat sembab, matanya pun bengkak.

Gadis itu masuk dan merebahkan dirinya di atas kasur yang sudah berantakan akibat menjadi sasaran emosinya. Menatap langit-langit kamar, air mata kembali lolos di ujung matanya setelah memori hangat kebersamaannya dan sang kakak terlintas.

"Kami sama... Tolong kirim penggantinya.." lirih gadis itu. Tanpa sadar, kelopak mata itupun menutup perlahan membawanya ke alam mimpi.

Malam itu, dua orang berdoa dengan situasi berbeda. Memohon sebuah kebahagiaan untuk mereka masing-masing, tubuh mereka lelah akan permainan takdir yang tak ada habisnya.

Kata orang, hidup itu seperti roda yang berputar. Ada yang di bawah, ada yang di atas. Tapi kenapa roda kehidupan milik kedua orang itu seolah tak bergerak dan membiarkan keduanya tetap di bawah?.

Entahlah. Kadang takdir tak bisa di tebak oleh manusia. Begitu misterius, begitu tersembunyi. Kita hanya bisa mengikuti arusnya dan melihat kemana arus itu membawa kita.

***

Seminggu kemudian...

Pantulan kaca jernih menampilkan tubuh seorang pemuda yang berdiri di depannya sambil memperbaiki kembali seragamnya yang sedikit kusut.

"Izana, kau mau kemana sepagi ini?." Pertanyaan terdengar dari manusia di ambang pintu. Tanpa menoleh pun Izana tau siapa yang bertanya.

"Apa aku harus selalu melaporkan kemanapun aku pergi?." Menoleh ke arah pintu menatap Kakuchou datar.

"Bukan begitu... Hanya saja-"

"Berhenti mencampuri urusan pribadiku Kakuchou, kau tak berhak melewati batas." Izana melongos pergi setelah sempat memotong ucapan kakuchou.

Derap langkah kaki menggema di ruangan bernuansa klasik Eropa. Dengan interior canggih membuat kesan Aesthetic pada ruangan itu.

Tak lupa logo Yin Yang di atas pintu utamanya.

Semua mata di sana menatap bingung Raja mereka. Di mansion sebesar ini tak mungkin hanya mereka yang tinggal kan?. Tempat ini merupakan markas mereka yang terletak di pedalaman Yokohama Nature Sanctuary.

"Dia mau kemana?." Bisik Ran pada Rindou. yang sibuk memainkan game di ponselnya.

"Kamu nanya?." Balas Rindou mendapat pelototan tajam dari Ran. Kesal sekali rasanya jika di tanya malah jawab 'Kamu nanya?' entah siapa yang membuat trend itu, ingin sekali Ran menemuinya dan melenyapkannya dari dunia ini beserta kata 'kamu nanya?' sekalian.

"Mana aku tau. Kau pikir aku Ibunya." Jawab Rindou setelah mendapat tatapan tak enak dari Ran. Takut begete!

"Urus markas untuk dua bulan kedepan." Ucapnya tak menghentikan langkahnya yang lebar. Berjalan keluar meninggalkan markas berserta anggota inti Tenjiku membuat mereka bingung.

"Dia mau kemana?." Tanya Ran mewakili yang lain.

Kakuchou tak menjawab. Ia malah berjalan menuju kamarnya membuat Ran naik pitam sendiri.

"Botak sialan! Sudah cacat belagu lagi!." Makinya kesal.

"Kontrol mulutmu yang kotor itu." Sahut Mochi yang sibuk memakan mochi.

"Ck. Aku masih ngantuk." Shion bangkit dari duduknya dan kembali ke kamarnya, karena semalam ia tak tidur entah apa yang dilakukannya.

"Urus urusanmu sendiri bangsat!." Sepertinya makhluk Adam ini sedang Pms ya, ada yang mau membelikannya softex?

"Aniki, ini masih pagi, turunkan nada bicaramu, apa kau tak malu karena mulutmu sangat bau seperti bangkai manusia?." Timpal Rindou meroasting saudaranya sendiri.

"Sepertinya menjadi satu-satunya Haitani yang tersisa cukup bagus." Perempatan imajiner tercetak jelas di dahi seorang Haitani Ran.

Tak mau kena amukan kakaknya, Rindou segera angkat kaki dari sana sebelum ultimatum-nya keluar.

"HAITANI RINDOOOO!!"

"BERHENTI BERTERIAK SIALAN!! AKU TAK BISA TIDUR!!."

°°°°°°°°°°°

Ayo vote yang banyak biar lanjut terus up-nya!!

👇🌟

You Are Mine!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang