Di umurnya yang baru 19 tahun, Jieun pikir ia telah menemui terlalu banyak kejutan dalam hidupnya.
Dimulai dari masa kecilnya yang menyedihkan. Ia dibuang ketika masih bayi dan tinggal di panti asuhan bersama Ibu Panti yang kejam. Ketika umurnya menginjak usia 7 tahun, Ibu Panti mulai memukulinya sebagai pelampiasan atas kekesalannya. Setiap hari ia selalu mendapat pukulan keras, meskipun ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Tubuhnya dipenuhi bekas luka, tapi yang paling buruk adalah goresan panjang di punggungnya.
Ibu Panti menggoresnya menggunakan pisau sebagai hukuman karena Jieun kedapatan mencuri sepotong roti. Saat itu ia sangat kelaparan dan terpaksa melakukannya. Tapi Ibu Panti tetap saja menganggapnya sebagai kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.
Menginjak umur 15 tahun, Jieun memutuskan untuk kabur dari panti asuhan. Lagi pula, tidak akan ada orang yang mau mengadopsi anak kurus kerempeng yang tubuhnya dipenuhi bekas luka.
Jieun hidup di jalanan dan melakukan segala cara untuk bertahan, sekalipun ia harus mencuri. Tidak seperti yang Jieun harapkan, hidupnya ternyata jauh lebih menyedihkan.
Dan puncaknya adalah sore itu.
Jieun benar-benar kelaparan sehingga ia tidak peduli lagi dengan tempat yang ramai. Ia tidak tahu kalau keberuntungannya sudah lenyap ketika penjaga toko memergokinya dan segera berteriak.
Beberapa orang datang dan memukulinya dengan brutal. Saat itu, Jieun terlalu lemah untuk sekadar melawan. Ia hanya memeluk tubuhnya dan merasakan tiap pukulan yang diberikan tanpa ampun.
Pukulan yang familier. Rasa sakit yang terasa begitu akrab baginya.
Ia pikir ia akan mati dan segala penderitaannya akan segera berakhir. Tapi ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya berada di tempat lain. Bau antiseptik menusuk penciumannya. Jieun memperhatikan sekeliling yang berwarna putih steril, kemudian menatap pakaian berwarna biru langit yang membalut tubuhnya. Sebuah gelang perak terpasang di pergelangannya.
Nomor 314.
Jieun beralih menatap sebuah kertas di atas meja samping tempat tidur dan menyadari kalau ia berada di rumah sakit jiwa.
Gila.
Jieun bersikeras mengatakan bahwa ia tidak gila pada setiap perawat atau dokter yang datang, tapi tidak ada yang percaya padanya.
Pada akhirnya, Jieun mendekam di sana selama tiga tahun.
Jieun hampir menyerah dengan rumah sakit itu, ketika para dokter mengatakan bahwa ia telah sembuh.
Dari awal, ia memang tidak memiliki gangguan kejiwaan apa pun.
Jieun dibiarkan keluar dan ikut bersama seorang perawat yang akan pensiun. Wanita parubaya itu tinggal sendiri, jadi ia mengizinkan Jieun untuk menemaninya, dengan syarat Jieun harus bersedia melakukan segala pekerjaan rumah.
Bibi Haeun sebenarnya adalah wanita yang baik. Dia tidak pernah berbuat kasar dan selalu memberi Jieun makanan yang cukup. Dia bahkan menyewa guru les ketika tidak sengaja melihat Jieun menonton film yang bertema sekolah.
Jieun bisa membaca dan berhitung dengan lancar, walaupun ia tidak pernah disekolahkan. Ia belajar secara otodidak. Apalagi setelah kabur dari panti asuhan, ia banyak menghabiskan waktunya di toko buku bekas yang berada di pinggir jalan.
Bibi Haeun mengatakan bahwa Jieun memiliki potensi. Dia berniat mendaftarkan Jieun di salah satu SMA yang bisa mengasah total kemampuannya. Karena umurnya sudah masuk 19 tahun, ia harusnya sudah berada di kelas dua belas.
Bibi Haeun membuatkan ijazah palsu untuknya, kemudian dengan beberapa rangkaian ujian, ia berhasil lolos ke sekolah yang dipilihkan olehnya. Jieun tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya---ia tidak menyangka akan mendapatkan pendidikan secara formal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burn the Rose
FanfictionLee Jieun tidak pernah mengerti mengenai hubungannya dengan Jeon Jungkook. Entah keduanya saling membutuhkan atau malah saling menghancurkan. Tapi satu hal yang Jieun tahu, sekalipun malam membawanya ke dalam kegelapan yang pekat, Jungkook akan sela...