"Bagaimana di sekolah?"
Bibi Haeun langsung melemparkan pertanyaan ketika Jieun melintasi halaman menuju rumah. Wanita itu berdiri di samping teras dengan keranjang pakaian di tangannya.
Jieun tersenyum kecil. "Baik."
"Baik bagaimana? Kau suka?"
"Ya, sekolahnya bagus. Pelajarannya menarik. Dan ... makanannya enak," jawab Jieun sekenanya. Ini baru hari pertama dan memang hanya itu yang membuatnya terkesan untuk saat ini. Tentu saja, gangguan kecil di kantin adalah pengecualian. Jieun tidak akan memberi tahu bibi Haeun dan membuatnya khawatir.
"Baguslah kalau kau suka," kata bibi Haeun sambil menghela napas pendek. Dari ekspresinya, Jieun menebak kalau wanita itu berharap Jieun bercerita panjang lebar dengan antusias mengenai hari pertamanya. Tapi bibi Haeun juga tahu kalau Jieun bukan gadis ceria yang selalu heboh saat membicarakan sesuatu, sekalipun itu menarik.
Bibi Haeun melangkah ke dalam rumah dan Jieun mengikutinya. Jieun hendak merebahkan tubuhnya di sofa, tapi terhenti ketika melihat tas besar di samping tangga.
"Bibi akan pergi?" Tanya Jieun spontan. Ia menatap bibi Haeun yang mengangguk lesu sembari meletakkan keranjangnya di belakang tangga. "Bukankah Bibi biasanya berkunjung di akhir bulan?"
"Gejalanya memburuk," jawab bibi Haeun dengan suara sedih, wajahnya berubah murung. "Bibi mungkin akan tinggal di sana seminggu lebih, atau dua minggu, tapi bibi akan sering menelepon."
Jadi, bibi Haeun memiliki saudara di Seoul. Jieun tidak tahu persis saudaranya sakit apa, tapi dia memiliki semacam gangguan kecemasan. Dia tinggal bersama suaminya, tapi suaminya tampaknya tidak terlalu peduli padanya. Bibi Haeun biasanya berkunjung sebulan sekali, tapi akhir-akhir ini dia sering pergi.
"Bibi akan berangkat malam nanti, sekitar pukul tujuh. Kau bisa memasak apa pun untuk makan dan jangan lupa untuk selalu membersihkan rumah."
Jieun hanya mengangguk sebagai jawaban. Bibi Haeun berlalu pergi menuju dapur, sementara Jieun bergegas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Rumah ini sebenarnya terlalu besar untuk ditempati oleh dua orang saja. Katanya, ini adalah rumah warisan yang diberikan oleh orang tua bibi Haeun.
Jieun menyimpan tasnya di atas meja belajar dan melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia menenggelamkan wajahnya ke seprai yang lembut saat teringat dengan kejadian di kantin.
Pemuda itu. Jeon Jungkook. Jieun tidak menyangka akan melihatnya lagi setelah sekian lama, dengan penampilan yang jauh berbeda. Sungguh kebetulan mereka berada di sekolah yang sama.
Kalau bukan karena mata rusa dan tato bunga mawar itu, Jieun mungkin tidak akan mengenalinya secepat itu.
Dia tampak sangat berbeda.
Mengingat-ingat lagi wajah, postur, dan pembawaannya yang luar biasa, dia sudah berubah menjadi lebih baik dari tahun-tahunnya yang menyedihkan di rumah sakit.
Dulu, pemuda itu sangat pendiam, kaku, dan aneh. Tubuhnya sangat kurus, kulitnya pucat, dan ada lingkaran hitam besar di matanya. Perawat bilang, dia sering tidak tidur selama tiga hari berturut-turut.
Walaupun kamar keduanya bersebelahan, mereka tidak sering berinteraksi. Percakapan mereka bisa dihitung dengan jari. Tapi Jieun telah menganggapnya sebagai teman ketika Jungkook menolongnya saat ia hampir tenggelam di sumur tua yang tidak terpakai.
Hanya saja, satu hal yang tidak pernah ia mengerti sampai sekarang adalah tatapan Jungkook padanya.
Jieun selalu mendapati Jungkook menatapnya dengan aneh ketika mereka berada di ruangan yang sama. Ketika Jieun keluar menuju taman, ia melihat Jungkook selalu memperhatikannya untuk waktu yang lama dari jendela kamarnya. Ketika mereka melakukan senam di lapangan, atau ketika mereka membersihkan di halaman belakang, sepasang mata itu seringkali mengawasinya dengan intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burn the Rose
FanfictionLee Jieun tidak pernah mengerti mengenai hubungannya dengan Jeon Jungkook. Entah keduanya saling membutuhkan atau malah saling menghancurkan. Tapi satu hal yang Jieun tahu, sekalipun malam membawanya ke dalam kegelapan yang pekat, Jungkook akan sela...