Tuan Hartanto Salim memandang jalanan, yang entah mengapa tidak terlalu ramai malam ini, dari kursi belakang Mercy hitamnya. Pikirannya melayang pada pertemuan yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Keluarga Priando, salah satu keluarga yang walau termasuk keluarga baru dalam dunia bisnis, rupanya cukup memiliki pengaruh dan benar-benar tidak mengenal kata menyerah. Tetapi, entah mengapa intuisinya mengatakan kali ini ancaman halus mereka−yang selalu terselip di setiap permintaan kerja sama−bukanlah pepesan kosong seperti biasanya. Karena selang beberapa hari setelah pertemuan itu, terjadi keributan di salah satu klub, disusul klub lainnya, terus sampai sekarang. Kondisi tersebut memaksanya mengeluarkan semua orangnya untuk menjaga klub-klub itu. Sudah sejak lama mereka terus saja mendekati dan menawarkan kesepakatan bisnis kepada keluarganya, bisnis mereka yang sebenarnya di balik bisnis-bisnis legal yang menjadi kedok. Bisnis yang sejak awal dihindari olehnya. Bahkan sejak dia memulai bisnis keluarganya dengan merangkak dari bawah, hingga sekarang ini, saat di mana jaringan hotel mewah, tempat karaoke, dan klub mewah, serta restoran kelas atas milik keluarga Salim tersebar memenuhi kota-kota besar di Indonesia.
Dia memulai semuanya sebagai pemuda miskin peranakan Tionghoa tanpa pendidikan yang merantau dari sebuah lingkungan miskin di salah satu kota di Kalimantan ke Jakarta. Hanya dengan bermodal mimpi untuk kehidupan yang lebih baik. Semua pekerjaan kasar dan serabutan dilakukannya. Pada akhirnya dia pun mengganti nama aslinya−sebuah nama Tionghoa pemberian orangtuanya−dengan nama yang sangat terdengar Indonesia dan membiasakan dirinya memakai nama baru tersebut, Hartanto Salim. Pekerjaan semacam mencuci piring di restoran, menjadi tukang sapu di arena judi, hingga ojek sepeda yang masih populer kala itu dilakoninya untuk menyambung hidup. Sampai akhirnya, karena ketekunan dan kerja kerasnya, dia diberi lahan parkir kecil di sebuah diskotek oleh seorang preman. Dan sekali lagi karena ketekunan, kerja keras, dan kejujuran serta kesetiaan yang ditunjukkannya, membuat dirinya menjadi kesayangan si preman. Ketika akhirnya si preman meninggal karena sebuah insiden penusukan, Hartanto Salim-lah yang kemudian menggantikannya. Dimulai dari menguasai banyak lahan parkir, lelaki itu mulai menjadi pemimpin yang ditakuti dan disegani. Walau pada dasarnya tidak suka kekerasan, seorang Hartanto Salim tidak segan untuk "menertibkan" anak buahnya, dan "membungkam" mereka yang berseberangan dengannya.
Dan ketika dirinya bertemu, jatuh cinta, dan memutuskan untuk menikahi seorang gadis Jawa, Hartanto Salim mulai memikirkan masa depannya. Dia tahu bahwa menjadi preman penguasa parkiran tidak memberi jaminan masa depan bagi istri dan anak-anaknya kelak. Lelaki itu mulai membangun usaha untuk masa depan. Pada mulanya hanya sebuah klub kecil. Lalu bertambah menjadi diskotek murahan dan klub judi ecek-ecek. Dengan keuletan, usahanya terus berkembang. Begitu juga dengan "keluarga"nya. Yang semula hanya sekelompok preman yang menghormatinya sebagai pemimpin, berkembang menjadi "keluarga" yang besar. Hampir seperti keluarga mafia yang ada di film-film itu. Seorang Hartanto Salim membuktikan bahwa mengurus "keluarga"nya sama pentingnya dengan mengembangkan bisnis. Perlahan tapi pasti, lelaki itu membawa keluarga dan bisnisnya ke arah yang lebih baik serta berusaha sedikit demi sedikit melepaskan diri dari kehidupan jalanan. Bahkan ketika orangtuanya yang masih berada di Kalimantan meninggal dunia, dia membawa adik perempuan satu-satunya yang seorang janda dengan satu anak ke Jakarta, dan mengurus semua keperluan wanita itu beserta anaknya.
Sekarang, 30 tahun kemudian, bisnis yang dia mulai dari nol sudah jauh berkembang. Dan di bawah bisnis ini bernaung puluhan keluarga yang menjadi bagian "keluarga" besar Salim. Bahkan, banyak dari mereka adalah keturunan dari orang-orang jalanan yang sejak awal bekerja bersamanya, pikir Hartanto Salim. Saat ini keluarga Salim memang tidak perlu lagi bersentuhan dengan jalanan, tapi tetap hukum jalanan dan segala permasalahannya tidak akan bisa lepas begitu dengan mudahnya.
Lelaki tua itu memejamkan mata lelah. Keluarga Priando adalah keluarga baru dalam dunia bawah tanah, julukan untuk dunia jalanan. Sudah bukan rahasia bahwa bisnis sebenarnya keluarga itu adalah narkotika. Kepala keluarga Priando mendatangi dirinya, menawarkan kerjasama dan meminta izin untuk memasuki bisnis hiburan malam milik keluarganya sebagai tempat untuk menjual dagangan mereka. Dia menolak dengan tegas sedari awal. Hartanto Salim berprinsip bahwa ada dua hal yang sebaiknya tidak disentuh sama sekali, yaitu narkotika dan prostitusi. Di awal-awal memulai bisnisnya dulu dia masih membiarkan para PSK menjajakan diri di salah satu klub atau diskotek mereka. Tapi, tidak sekali pun tebersit untuk menjadikan bisnis itu sebagai bagian dari bisnis keluarga Salim. Tidak, dirinya tidak pernah menganggap rendah mereka, toh dia besar dari di jalanan dan tahu bagaimana kerasnya rimba itu. Tetapi, dia mengutuk manusia yang mengambil untung dari keterpurukan para wanita itu. Dia mengutuk bisnis prostitusi dengan germo yang menjadikan anak buahnya bak sapi perah dan tak jarang di luar batas kemanusiaan. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak segan menggunakan anak di bawah umur. Itu menjijikkan. Sama menjijikkannya dengan narkoba.
Entah sudah keberapa kali, keluarga Priando menawarkan kesepakatan dan untuk kesekian kalinya pula tawaran itu tidak diterima. Tidak, dia tidak bisa mengkhianati hati nuraninya dan membahayakan masa depan keluarganya. Dia tidak akan pernah melakukan itu. Lagipula dia memiliki firasat permintaan Priando bukanlah lagi tentang izin memasuki bisnis Salim sebagai tempat memasarkan barang mereka. Hartanto Salim yakin Priando tidak kehabisan lahan pemasaran. Mereka memiliki niat yang lebih dari itu, menaklukkan Salim Grup. Dan selama ini firasatnya jarang salah. Intuisinya yang tertempa di jalanan terbiasa untuk peka dan melihat jauh ke dalam sebuah hal, bukan hanya di permukaan.
Lelaki tua itu membuka mata dan menyadari mereka sudah jauh keluar dari tol, keluar dari Jakarta. Mobilnya sedang menyusuri jalanan daerah Bogor yang tidak seramai Jakarta. Matanya menangkap gerobak penjual combro di pinggir jalan, makanan kesukaan istrinya. Tanpa bisa dicegah, mulutnya tersenyum.
"Bisakah menepi sebentar, Liam?" Tuan Hartanto Salim memberi perintah kepada sopirnya yang masih muda, yang menatap bingung dari balik kaca spion.
"Menepilah, aku ingin membeli combro."
"Tapi Tuan, kita hanya berdua dan instruksi dari Tuan Dodo adalah untuk tidak berhenti di mana pun."
Hartanto Salim tersenyum menyadari bagaimana paranoidnya tangan kanannya itu.
"Berhentilah sebentar. Aku hanya ingin membelikan Istriku combro."
Lelaki muda itu tidak bisa menolak lagi. Dengan ragu ditepikannya Mercy yang dia kemudikan.
"Kalau kamu khawatir, aku akan menunggu di dalam selagi kamu keluar dan membeli combro untuk Istriku, bagaimana?" pintanya ketika melihat kekhawatiran di mata pemuda itu seraya mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan.
Tanpa diminta dua kali Liam mengangguk, menerima uang itu dan keluar dari mobil menuju penjual combro yang cukup ramai. Mengingat macet dan gerimis, orang-orang memilih untuk menepi dan menikmati camilan yang enak dimakan saat masih panas itu. Liam sedang membayar pesanannya ketika terdengar teriakan seorang wanita dan disusul keributan yang datang dari arah mobilnya. Jantungnya berhenti sesaat ketika melihat tubuh tuannya roboh di samping mobil. Tanpa menunggu, Liam secepat kilat menghampiri mobilnya dan langsung mendekat. Sekelebat masih dilihatnya sepasang pengendara motor melarikan diri, memacu motor mereka dengan cepat. Dengan panik lelaki muda itu mengeluarkan ponselnya, menghubungi nomor yang sudah tidak asing.
"Tuan.... Tuan diserang!"
~*~
Helloooooo eperibodiiiih.... Part 1 kelar juga. Mari kita lihat, berapa vote and komen untuk cerita ini.
Sorry for all the stupid typos, and enjoy!!!!
love,
Vita.

KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
Romance"Aku bukan Widura dan kamu bukan Padmarini. Aku juga bukan Papa, dan kamu juga bukan Mama. Tetapi aku pikir kita bisa belajar bersama untuk mencintai satu sama lain dengan cara kita." ~Dewabrata~ "Cinta itu barang langka, tidak semua orang tahu car...