Part 4.

17.4K 1K 53
                                    

Malam itu di sebuah ruangan dengan banyak penjaga.

Namanya Johan. Biasa dipanggil Jojo atau Jon oleh kawan-kawan dan keluarganya. Dia anak ketiga dalam keluarganya. Bergabung sebagai pengawal dalam keluarga Salim setahun yang lalu. Berawal dari pertemuannya dengan Pedro. Saat itu Johan membantu Pedro yang motor vespanya mogok di sebuah jalan sepi di daerah Imogiri ketika lelaki itu sedang berada di Jogja. Johan yang lewat dengan motornya berhenti dan ketika tahu bahwa vespa Pedro mogok karena kehabisan bensin, pemuda yang sehari-harinya memiliki usaha penyewaan play station kecil-kecilan itu tanpa diminta membawakan bensin yang dia bungkus dengan plastik.

Beberapa minggu kemudian datang tawaran untuk Jojo hijrah ke Jakarta dan bekerja pada keluarga Salim. Tawaran yang entah mengapa langsung diterima pemuda yang sebelumnya pernah bersumpah tidak akan pernah meninggalkan Jogja, kota kelahirannya.

Walaupun hanya lulusan SMK dengan nilai pas-pasan, sebenarnya Johan bukan orang desa yang bodoh dan tidak memiliki ambisi seperti yang selama ini disangka kawan-kawan dan keluarganya. Johan juga punya ambisi dan keinginan. Salah satu ambisinya adalah membawa ayahnya yang sudah tua pergi ke RRC, mengunjungi tembok Cina, impian lelaki tua itu selama ini. Jalan untuk mewujudkan ambisinya selama ini belum terlihat. Sampai sebuah telepon rahasia datang kepadanya.... Percakapan singkat dengan seorang pria yang kemudian menuntunnya pada hal tidak menyenangkan yang dia hadapi saat ini.

"Kamu mengerti, kan?" tanya lelaki yang duduk di hadapan Johan, yang sosoknya sudah tidak asing baginya, memastikan.

"Saya mengerti," jawab Johan dengan nada datar, menutupi kebimbangannya.

Sesaat terbayang wajah tua ayahnya. Ayahnya, lelaki hebat yang berhasil membesarkan delapan orang anak seorang diri, tanpa sosok istri mendampingi. Lelaki yang selalu mengagungkan kejujuran sepanjang hidupnya. Johan menarik napas panjang, memejamkan mata, mencoba menghalau bayangan wajah lelaki tua itu dari benaknya.

"Dengarkan baik-baik rencananya dan lakukan dengan hati-hati, kamu mengerti?" tanya lelaki lawan bicaranya sekali lagi, seakan Johan adalah orang tolol yang harus ditanyai apa dia mengerti setiap kali diberi instruksi.

"Baik."

Untuk terakhir kalinya, Johan menggeleng, mengusir bayangan wajah tua ayahnya.

~*~

Dewa berdiri di sebelah mobilnya, menatap keriuhan yang terjadi di seberang jalan. Tepatnya di bangunan megah bertingkat tiga milik keluarganya. Lantai paling atas adalah salah satu dari banyak cabang "Musai", tempat karaoke mewah milik Salim Grup. Lantai dua adalah "Ishtar", sebuah klub malam ekslusif. Terakhir, lantai paling bawah adalah La Kicritta, sebuah kafe dan restoran. Dan kesemuanya adalah milik keluarganya.

Dini hari tadi, pukul tiga tepatnya, dia yang sedang tidur di apartemennya dibangunkan oleh Pedro. Tangan kanannya itu mendapat sebuah panggilan telepon dari salah satu anak buahnya yang berjaga di gedung ini. Ada kebakaran di Musai.

Dewa bangun dan secepat mungkin meluncur ke lokasi. Tidak ada korban jiwa, kerusakannya pun tidak terlalu parah. Anak buahnya cepat tanggap dengan memanggil pemadam kebakaran, hingga api tidak sampai merambat ke La Kicritta. Hal itu menimbulkan satu kesimpulan di otak Dewa. Tidak salah lagi. Ini bukan kecelakaan. Ini adalah sebuah sabotase. Serangan peringatan, pikir Dewa seraya mengamati petugas pemadam kebakaran yang membereskan peralatan mereka dan beberapa mobil yang sengaja melambat untuk melihat apa yang terjadi. Lelaki itu menggertakkan gigi menahan geram. Setelah membuat rusuh di beberapa klub milik keluarganya, kemudian menyerang ayahnya, sekarang para bajingan itu berencana untuk membuat serangan yang berisiko memakan korban tidak berdosa? Dewa menendang ban mobilnya marah seraya memijat hidungnya.

TimelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang