Rumahku istanaku. Aku tak dapat menampik bahwa aku pun mengamini pepatah yang lumayan masyhur tersebut. Rumah mungkin tak seindah istana, tetapi rumah mampu mengungguli istana untuk menjadi tempat teduh sekaligus tempat berlabuh paling nyaman seusai mengembara di jalan terjal.
Seperti saat ini, langkahku terasa ringan begitu menuju ke rumah. Berjalan-jalan mengelilingi komplek memang cukup melelahkan. Mungkin karena baru beberapa minggu terakhir kegiatan ini masuk ke dalam list rutinitas sore hariku.
Tak hanya rumah —sebetulnya, aku juga mensyukuri lingkungan sekitar istanaku. Pemandangan di sini masih asri dan juga terjaga. Terbukti dengan bunyi kicauan burung yang beraneka warna dan ditanamnya pohon-pohon hijau di pinggiran jalan ujung hingga ke ujung. Tiap kali melewati taman, bunga-bunga daisy putih akan tampak bergesekan satu sama lain mengikuti arah angin. Seakan memberikan isyarat bahwa hidup itu perihal orang-orang di sekeliling kita.
Bicara tentang orang-orang di sekeliling, tentu saja hanya satu kata yang terbesit dalam benakku. Keluarga. Ya, keluarga. Bagian inti dari rumah yang selalu aku banggakan. Alasan mengapa aku masih bertahan. Setelah ini, aku bahkan telah membuat beberapa rencana untuk menghabiskan waktu bersama mereka.
Dari kejauhan, pagar bercat kuning yang bersatu padu dengan rona jingga senja semakin membuat kedua sudut bibirku tertarik ke atas. Jajaran pot dengan bunga berwarna cerah pun tak luput untuk memperlihatkan kehangatan keluarga kecilku kepada orang-orang yang berlalu-lalang. Begitu sampai, manikku kontan melirik ke sepasang sepatu yang terabaikan di dalam foyer rumah. Siapa lagi kalau bukan Beomgyu? Anak itu selalu saja seperti ini. Entah, aku pun masih belum mengerti dari gen mana sifat berantakannya berasal. Karena sejauh yang aku tahu, Sam —suamiku bukanlah orang yang seperti itu, pun dengan diriku. Kami memiliki kesamaan dalam hal kerapian. Cukup mengherankan melihat Beomgyu tumbuh bak orang lain.
Beruntungnya, tidak dengan interaksi kami. Beomgyu adalah anak yang sangat baik. Ia tak pernah meminta macam-macam padaku, maupun Sam. Ia selalu menerima segala bentuk kasih sayang dengan senyumannya. Jika disuruh untuk mendeskripsikan Beomgyu, ia hanyalah anak yang kerap tersenyum dan banyak menebarkan sisi positif bahkan kepada orang yang tidak dikenalnya. Jadi menurutku, Beomgyu sudah melaksanakan tugas sebagai anak pertama dengan baik. Karena aku pun tak menuntut Beomgyu untuk berprestasi tinggi seperti kebanyakan orang tua. Mengguratkan kehangatan melalui candaannya saja sudah cukup. Aku tidak akan meminta apapun lagi pada Tuhan.
Setelah menaruh sepatu ke dalam rak, aku jadi teringat saat memberikan benda yang kini menjadi sedikit usang ini sebagai hadiah ulang tahun Beomgyu setahun yang lalu.
Aku menggulir atensiku ke arah Sam ketika pria itu menepuk kakiku pelan. "Apakah ini cukup bagus?" tanyanya seraya menaikkan kedua alis.
Menganggukkan kepala, aku menyodorkan sepatu itu kembali agar Sam lekas memasukkannya ke dalam bag polos berukuran sedang di tangan berototnya. Suamiku ini memang seorang prajurit militer, aku tidak membual.
"Kau tahu," Sam menggerakkan tangannya membentuk sebuah kalimat dalam bahasa isyarat, "Aku dan Eun yang membuat kuenya tadi, aku tak tahu akan seperti apa reaksi Beomgyu nanti setelah mencicipi kuenya," pria itu menjeda kalimat dan menengok ke kanan kiri. Semakin memancing rasa penasaranku karena Sam sedikit memajukan tubuhnya, "Aku malah menaruh garam di sana, bukannya gula."
Sontak mulut serta mataku membulat terkejut, sebelum akhirnya terbahak dan disusul dengan wajah Sam yang juga tertawa. Meski tidak ikut merayakan acara kecil-kecilan itu, aku dapat membayangkan bagaimana rupa cemberut anak lelakiku. Karena wajah kesal Beomgyu tetap ada saat mengadu padaku di rumah sakit.
Tanpa sadar, tawaku menguar kembali mengingat kejadian itu.
Begitu masuk ke dalam rumah, netraku disambut oleh sebuah bola berwarna-warni yang berhenti tepat di depan kaki telanjangku —setelah sebelumnya, melambung setinggi lutut. Suara langkah kaki yang berasal dari arah dapur pun terdengar setelahnya. Mengundang obsidianku untuk melihat siapa yang datang.
"Eun?"
Ahiya. Putri kecilku yang manis. Usianya baru enam tahun. Maka dari itu, Eun akan masuk ke sekolah dasar tahun depan. Rasanya tak bisa bersabar melihatnya mengenakan seragam dan menenteng tas untuk pergi ke sekolah. Merengek karena kehilangan sepatu dan kemudian semakin kencang ketika melihat Beomgyu terkikik di depan pintu. Ya Tuhan, aku benar-benar tak bisa sesabar itu.