Sampai di rumah, aku belum melihat tanda-tanda Eun terbangun dari tidurnya dan aku juga tidak menemukan presensi sepatu Beomgyu berserakan di dalam foyer rumah. Menandakan bahwa anak itu akan pulang lebih larut dari biasanya. Karena aku pun pernah merasakan bagaimana berada di fase siswa kelas akhir, aku mengerti apa yang putraku rasakan. Barangkali, kini ia tengah bersenda gurau bersama teman-temannya seusai menghafal rumus matematika.
Kalian pasti berpikir, mengapa aku banyak membicarakan Beomgyu? Sederhana saja. Dia adalah anak pertama. Bahkan hanya dengan lahirnya dia ke dunia, aku merasa bahwa aku tak membutuhkan apa-apa lagi. Jika tidak percaya, tanya saja pada Sam —seberapa girangnya aku ketika tahu anakku berjenis kelamin laki-laki. Dan sekali lagi, Beomgyu adalah anak yang sangat sangat baik. Aku tidak tahu lagi harus dengan kalimat seperti apa untuk mendeskripsikannya.
Oh iya, hampir saja aku lupa. Bunga daisy yang sedari tadi tergeletak di atas nakas tampak sedikit layu. Jika ia memiliki mulut, mungkin bunga berwarna putih itu tak akan segan-segan untuk mendumal karena ditinggalkan begitu saja. Mau bagaimana lagi? Kedua kakiku kontan menuju ke arah dapur —yang berada tepat di sebelah ruang makan, saat membuka pintu rumah.
Tapi, mau kuapakan bunga ini? Sangat disayangkan jika dibuang begitu saja. Lalu, tiba-tiba aku berpikir untuk meletakkannya di setiap bagian rumah. Bukankah itu terlihat cantik? Aku bahkan tidak sabar untuk melihat reaksi Beomgyu. dan juga Eun. Mungkin selanjutnya, aku harus sering-sering membawa pulang beberapa bunga daisy setelah jalan-jalan sore dan meletakannya di setiap sudut rumah.
Di sela-sela vas bunga, antara jajaran buku-buku milik Beomgyu dan Sam —yang entah apa isinya, hingga di celah-celah sempit. Hampir seluruh bagian ruangan kini telah aku penuhi dengan benda kecil berkelopak putih ini. Semuanya, kecuali satu. Cermin. Di sebelah televisi, ada sebuah cermin lingkaran berhiaskan ukiran kayu yang elegan. Sam dan anak-anak selalu menggunakannya ketika mereka terburu-buru untuk pergi.
Aku bisa meletakkan bunga daisy di bingkai kayu itu, namun tidak kulakukan. Entah mengapa, aku merasa takut. Bahkan setiap kali aku melewatinya, perasaan seperti tengah diawasi seketika membuat sekujur tubuhku merinding. Aku tidak tahu apakah orang lain merasakan hal yang sama atau tidak —yang jelas, aku selalu menjauhi cermin itu.
Menghela napas sedikit lebih panjang dari biasanya, aku menelosorkan dagu di atas meja tepat di depan beberapa piring masakanku. Semenjak Sam pergi, rumah terasa sedikit membosankan. Tiba-tiba saja, aku merindukan suamiku. Karena biasanya, Sam akan membantu —atau lebih tepatnya menggangguku saat memasak. Memeluk pinggangku tiba-tiba dan lalu mendekatkan batang hidung mancungnya ke pipi kiriku. Menyapu permukaan kulitku dengan udara hangat yang menguar dari hidungnya.
Sam juga pernah menyuruhku beristirahat dan menggantikan kegiatanku memasak. Meski aku tidak yakin, aku tetap membiarkannya. Jika kalian ingat apa yang menimpa kue ulang tahun Beomgyu, kalian tentu dapat menebak kelanjutan cerita ini. Benar, sundaeguk buatan Sam keasinan, roti bawang untuk Beomgyu berakhir gosong, dan nasi isi kimbab berceceran kemana-mana.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat Sam menggerakkan tangannya, lengkap dengan wajah memelas andalan dirinya. "Maafkan aku. Aku akan membereskan semuanya. Kau tahu aku memiliki banyak uang, kan? Aku akan mengganti semuanya. Jadi, maafkan aku, ya?"
"Aku pulang."
Ah, suara itu. Kedua indera penglihatanku spontan mencari sumber suara yang baru saja terdengar. Dan benar, suara itu milik anakku, Beomgyu. Dengan tas kempis menggantung di lengan kiri dan satu tangan menenteng sepasang sepatu. Anak itu tampak berjalan mengendap-endap menaiki tangga. Aku mengernyit sesaat. Mengapa Beomgyu masuk dari pintu belakang?