Aku tak tahu harus berapa lama lagi kami berdua terjebak di sini. Atmosfer di sekitar meja makan mendadak terasa mencekik hingga membuatku kesulitan untuk bernapas. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain melirik Eun dan memastikannya baik-baik saja. Omong-omong, anak itu terduduk tepat di depanku dengan wajah memucat dan gestur tubuh yang kaku. Dia pasti sama terkejutnya denganku.
Sedang di depan sana, seorang wanita paruh baya memunggungiku dan Eun karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Mendengar suara dentingan kaca yang saling beradu, dapat dipastikan bahwa ia tengah menyiapkan sesuatu entah apa. Dilihat dari perawakannya, dia bukanlah bibi yang menjaga Eun. Jika pun itu bibi, pasti tidak mungkin. Karena kini, jam telah menunjukkan waktu petang.
Menyadari keanehan, aku lantas menggulirkan pandangan dan mendapati beberapa bunga daisy yang tidak tahu sejak kapan tersebar di mana-mana. Dengan bodohnya, aku terperanjat kaget hingga menghasilkan suara gesekan antara kursi dengan lantai. Beruntung saja, wanita itu tidak mengindahkan dan melanjutkan apa yang tengah dikerjakannya.
Tidak, dari awal membuka pintu depan bahkan perasaanku sudah tak nyaman. Untuk itu, aku kembali menutup pintu depan dan beralih ke halaman belakang. Tanpa memedulikan sesosok wanita yang ekor mataku tangkap, aku tetap memantapkan hati untuk melangkah menaiki tangga untuk menuju ke kemar Eun dengan segera. Kudapati gadis kecil ini meringkuk di bawah selimut waktu itu.
"Eun dengar, dengarkan Gyu. Kita harus turun." Yang kuingat, Eun hanya memperhatikan dengan tubuh gemetar dan banjir keringat. Menghela napas sesaat, aku menurunkan pandangan dan menggenggam tangan kecil Eun yang dingin bak menyentuh es. "Eun tahu, bukan, siapa yang ada di bawah sana? Ayo kita turun dan menuruti semua kemauannya sebelum dia marah besar." Butuh beberapa detik bagi Eun, sebelum akhirnya, ia mengangguk kecil.
"Kalian berdua pasti lelah."
Sungguh, jika ia adalah manusia normal biasa, aku tak pernah mengira suara yang ia miliki akan terdengar seperti ini. Jujur saja, aku merasa takut, tapi juga terharu di waktu bersamaan. Sekalipun dia tidak lagi sama, aku diam-diam berdoa semoga ini adalah suatu kenyataan, meskipun lebih dari tahu jika semua harapan itu hanya akan melayang tanpa kepastian.
Aku merindukan semua yang ada pada dirinya. Caranya tersenyum, caranya berjalan, caranya berpakaian, semuanya terasa nyata untuk dikatakan hanya sebuah mimpi belaka.
Tapi tunggu, Gyu. Kau tidak boleh berpikir ceroboh. Eun masih membutuhkanmu untuk membuatnya merasa aman. Siapa yang akan tahu jika suatu saat, wanita itu akan berubah 180 derajat dari apa yang kau pikirkan saat ini. Sadarlah Beomgyu, sadarlah!
Dan semua yang tersaji di meja makan jelas-jelas bukan makanan manusia. Dari ujung hingga ke ujung, benda-benda yang tak seharusnya, seperti dedaunan kering yang bercampur dengan hewan mirip belatung mati, daging panggang merah berbau menyengat, dan ada beberapa yang hanya tinggal tulangnya saja. Aku bahkan bisa menebak jika cairan merah yang terletak di meja paling tengah adalah darah. Iya, cairan merah pekat yang amis. Darah.
"Makan yang banyak, ya." Wanita bersurai pirang itu lekas mengambil piring, kemudian menambahkan beberapa di sana. Setelah dirasa cukup terisi, piring itu ia sodorkan ke samping, di depan Eun. Kulihat, bahu gadis kecil itu menegang seperti menguatkan jari-jari tangannya di kedua sisi kursi.
"T-tunggu!" Suaraku refleks menghentikan pergerakan tangannya yang kian mendekat ke arah rambut Eun. Begitu wanita tersebut menoleh, waktu seolah berjalan melambat. Detak jantungku terasa berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Eun," panggilku tanpa menoleh. "Lari." Sementara wanita di depanku, kedua netranya masih tertuju ke arahku dengan darah merah yang hampir berwarna hitam, mengalir bebas dari sana. Pipinya perlahan memperlihatkan retakan yang juga merembeskan darah.
"SEKARANG!"