Air maraku meleleh, bak kutub yang mencair akibat pemanasan global terparah.
Aku ingin istirahat.
Hidup menempaku keras.
Nilai sekolah yang hancur berantakan. Tak tersisa, hangus.
Ditambah dengan keirian hati seorang gadis kecil yang disebut adik, yang membuatnya dendam setengah mati kepadaku.
Tatapan mata cokelat Mama yang sarat akan kekecewaan,
Ekspresi Ayah yang menuntut ketenangan,
Teman yang semu, datang dan pergi sesuka hatinya,
dan kekesalan dari adik kecilku yang lain.
Bagaimana aku bisa bertahan?
Belum lagi perasaan bersalah selalu menggelayutiku seperti seekor monyet yang bergelantung pada habitatnya.
Semua emosi yang terpendam.
Luka yang menganga, tanpa ada yang mau mengobatinya.
Kesedihan yang malu-malu bersembunyi di dalam hati,bahkan untuk tampil dihadapan seorang manusia.
Pernah suatu kali aku berpikir kalau lebih baik mati saja. Namun setelah kutelaah baik-baik itu adalah pikiran terbodoh yang pernah melintas di otakku.
Aku belum tobat, dosaku bahkan sebesar gunung dengan salju diatasnya.
Aku menghadapi semuanya sendirian.
Tak ada yang bisa membantu.
Tak ada yang bisa mengerti.
Tak ada yang peduli.
Mungkin ini terkesan seperti seolah-olah aku menutup rapat-rapat semua panca indraku,
melupakan kepedulian dan rasa bahagia yang pernah singgah di hatiku.
Ku bilang sekali lagi. Hidup menempaku keras.
Dan ini masih belum apa-apa. Bagaikan sebilah pedang, aku belum sempurna.
Dan perlu waktu yang lama untuk menyempurnakan pedang itu.
Lalu apa alasan yang membuatku bertahan sampai sejauh ini?
.
.
15052015
.
.
16 Mei 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Camerein
Historia CortaBenda itu. Aku memang tak mempunyainya. Tapi, tunggu! Aku mempunyainya, di dalam tubuhku. Apa yang ada di dalam sana? Kalau kau mau, kau bisa mencari tahu. . . . Copyright© 2015 by calcoprhone All right reserved . . Credit cover: @expellianmus