Gue bukan meledek atau apa ya tapi yang namanya Asuhi itu emang bener-bener mirip Asu, kerjaannya tiap minggu gonta-ganti cewek padahal gue liat mukanya biasa aja. Kelewat biasa malah. Ko bisaaaaaa..... itu cewek-cewek pada nyantol sana sini padahal dia jadi tatonya jeon jungkook aja ga pantes.
Gue curiga ni anak pake pelet, gue sama Eka bener-bener udah suudzon sih. Kavi yang duduk di belakang gue bareng Sila pun malah ikut nimbrung.
"Vi, kalah jauh lo sama si Cui. Dalam kurun waktu setengah semester ini dia udah ganti cewek 6 kali, lo mah satu aja gaada." Kata Sila meremehkan cowok itu, Kavi melirik sekilas kemudian tertawa begitu saja.
"Ga keliatan bukan berarti gaada, Sil." Balas Kavi sambil memainkan game COC di ponselnya, cowok dengan mata sipit dan bibir tebalnya itu mendecak ketika ia di kalahkan dan langsung memencet tombol home.
"Lah serius udah ada cewek lo? Gue kira jomblo, soalnya kan lo gapernah publish apapun selain game yang lo mainin tadi tuh." Sila terlihat terkejut, ya mana mungkin juga cowok secakep Kavi di anggurin para degem dan kakel cantik.
Kavi tak menjawab, malah mencomot gorengan yang ada di depan Eka sambil tertawa yang membuat matanya hanya menyisakan garis tipis.
"Lo kalo lagi ketawa terus temen-temen lo pada kabur juga nggak bakal ketauan kali ya?" Pertanyaan ngaco yang keluar dari mulut gue bikin Kavi sama Sila ketawa.
"Ya nggak lah, ngaco lo." Jawab Kavi sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir sama otak gue yang kadang kadang tidak bekerja dengan baik. Sejujurnya gue ga deket sama anak cowok di kelas, mungkin cuma Kavi sama Agi doang yang kadang ngobrol sama gue, selebihnya ya cuma formalitas sebagai 'teman satu kelas'
Kebanyakan anak kelas gue itu aktif organisasi sekolah contohnya Futsal, 90% anak cowok di kelas ikut futsal dan basket, nah 10% nya Kavi sama Andrew yang malas ikut organisasi apapun tapi katanya sempat di tawari masuk basket karena badan kedua cowok itu tinggi menjulang bak tiang listrik. Gue aja suka insecure kalo berdiri samping-sampingan sama dua cowok itu, berasa kurcacinya putri tidur.
"Eh eh, kemarin gue denger nih si Anis IPS 1 ngelabrak pacar barunya si Cui di toilet. Katanya sampe jambak-jambakan!" Kata Sila dengan suara pelan tapi sangat jelas di telinga, gue sampe menutup mulut begitu pula dengan Eka yang memasang wajah jijik.
"Apa dah, cowok model gitu direbutin sampe segitunya. Jadi upilnya Song Jong Ki aja kaga pantes, ewhhh." Kata Eka yang udah muak sama ke playboyan Cui sambil mendengus keras.
"Pake susuk kali, lo ga liat ada jarum si telinganya?" Celetuk Kavi membuat gue, Eka dan Sila kompak menoleh dan menatap lekat Cui yang sedang asik tertawa bersama Alan di meja pojok.
"Gue sebagai anak indiehome bisa melihatnya, warnanya agak kecoklatan—"
"Itu mah tai kuping!" Eka memotong ucapan Sila, gue yang emang pada dasarnya receh jadi ketawa ngakak sampe mukul-mukul meja. Sedangkan Kavi hanya ikut terkekeh, entah perasaan gue atau apa gue ngerasa Kavi terus ngelirik kearah gue. Gue jadi diem so classy jaga image, padahal dalem hati udah salting sampe rasanya mau terbang dari lantai dua ke Korea terus kepleset ga sengaja jatoh ke pelukan Jeon Jungkook kemudian kita hidup bahagia di Mars.
Dan pergibahan tentang Cui pun berlanjut sampai bel pulang berbunyi.
Gue segera mengemasi buku-buku yang masih tergeletak di atas meja, lalu menaruhnya di laci sambil bersenandung pelan. Gue duduk sebentar nunggu anak kelas lain pada turun, macet soalnya pada desekan di parkiran. Hanya tersisa 4 orang di kelas, diantaranya ada Kavi sama Ali yang masih duduk anteng di kursi masing-masing, gue dan Rudi yang sudah berdiri hendak keluar kelas.
Tapi kok malah berhenti didepan gue?
Terdengar deheman pelan dari mulut cowok itu, gue mendongak dengan alis terangkat sebelah.
"Pulang bareng." Katanya sambil memasukan tangan ke dalam saku jaketnya, gue jadi mengerjap pura-pura bego. "Hah? Pulang bareng sama siapa?"
Bisa gue lihat perubahan wajah cowok itu yang terlihat lelah dengan tingkat kelemotan otak gue, ia meraih lengan gue kemudian menariknya keluar dari kelas bikin gue panik ga karuan.
"Woi woi anjir gue bawa motor sendiri!"
Rudi memberhentikan langkah saat sudah sampai di area tangga, cowok itu menatap gue intens lalu mendekat bikin gue mundur dua langkah ke belakang. Ia mendecak, kemudian mendengus keras.
"Kenapa sih susah banget diajak pulang barengnya? Gue gabakal macem-macem." Mendengar itu gue jadi menelan ludah, merasa bersalah tapi cowok di depan gue ini satu padepokan dengan Cui yang artinya sama-sama buaya.
"Ya kan gue bawa motor," cicit gue pelan sambil melirik kearah lain, tak berani menatap mata tajam Rudi yang terlihat marah.
"Yaudah besok-besok gausah bawa motor biar bisa pulang sama gue terus."
Dih, lu siape? Kim Seokjin kah? Atau Min Yoongi?
Gue diem aja sampai akhirnya suara Kavi dan Ali yang sedang tertawa terdengar, kedua cowok itu terlihat kaget melihat gue sama Rudi di dekat tangga.
"Lah belom balik?" Tanya Kavi dengan wajah bingung sambil mendekat ke arah gue, gue bersyukur dalam hati karena setidaknya ada orang yang bener-bener gue kenal.
"Adel pulang bareng sama gu—"
"Nggak, gue pulang sendiri."
Rudi mengeraskan rahangnya kemudian kembali mendengus keras ketika gue memotong kalimatnya, cowok itu menatap gue jengah.
"Mau lo apa sih?!" Tanya nya dengan wajah lelah sendiri, ia menyandarkan lengannya di pembatas tangga. Sementara Kavi dan Ali masih menjadi penonton drama penolakan yang gue buat.
"Gue cuma mau pulang, pake motor gue bukan sama lo, udah itu aja." Jawab gue dengan tegas padahal tangan gue udah gemetar, Rudi maju lagi selangkah membuat gue mundur sampai punggung gue menyentuh dada bidang milik Kavi.
"Udah udah. Rud, jangan di paksa lagi. Adel udah bilang dia mau pulang sendiri." Kata Kavi melerai, pada akhirnya Rudi menyerah menuruni tangga duluan tapi bisa gue liat raut tak suka cowok itu saat Kavi menarik gue ke belakangnya berusaha melindungi.
"Makasih ya, kalo gaada lo berdua mungkin gue udah di seret-seret buat pulang bareng sama dia."
Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa orang yang masih stay karena ekskul atau sekedar duduk-duduk santai di samping lapangan. Ali yang sedari tadi diam akhirnya buka suara.
"Sejak kapan dia kaya gitu sama lo?" Kita bertiga berjalan beriringan menuju parkiran, gue menoleh ke arah cowok itu yang berjalan di samping kanan gue kemudian mulai mengingat.
"Eum.. kayanya pertengahan kelas 10 deh," jawab gue dengan wajah acuh tak acuh, Ali dan Kavi berjalan dengan posisi mengapit gue di tengah. "Gue kira cuma iseng doang, tapi hampir setiap ada kesempatan dia ngajak pulang bareng. Makin lama makin ngeselin dan terus maksa-maksa padahal udah gue tolak baik-baik."
Kedua cowok itu memberhentikan langkah tiba-tiba.
"Eh?" Gue jadi kaget dan ikut berhenti sambil menoleh ke belakang.
"Kenapa?" Tanya gue membuat dua cowok itu kembali mendekat, raut wajah mereka terlihat berbeda.
"Kalo dia ganggu lo lagi, bilang ke gue. Biar gue patahin lehernya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ipa-ipaan (on going)
ChickLitIni cerita tentang kelas gue. Kelas yang dicap sebagai trouble makernya IPA. Anak IPA yang biasanya culun dan pinter-pinter seketika sebutan itu sirnah kalo liat tingkah laku kelas gue.