Shounen Rei (srmf)

146 14 45
                                    

Gemuruh rel karena kereta yang semakin mendekat mengguncangkan tubuh sosok di hadapanku. Surai putihnya menghiasi wajah yang berlinangkan air mata. Aku tak dapat mengutarakan bahkan sepatah kata ketika manik merahnya memandangiku. Aku tak dapat bergerak meski suara bel itu semakin riuh. Aku tak dapat menghapus air mata yang menumpuk di pipinya.

Aku tak dapat melakukan apa pun ketika tubuh mungil itu terhempas jauh kala kereta tersebut menabraknya.

Yang dapat kulakukan hanyalah menangis dan menangis. Jadwal kereta menjadi kacau. Di peron yang tadinya sepi itu, sekarang ada banyak orang mengerubungi kami. Beberapa petugas menanyai diriku, namun yang dapat kuutarakan hanyalah permintaan maaf untuknya.

"Mafu, Mafu, maafkan aku... Mafu...."

Ah, diriku yang tak berguna membuatku muak. Aku tidak dapat menyelamatkannya. Padahal aku sahabatnya, yang paling mencintainya di dunia ini, bahkan lebih dari kedua orangtua Mafu sendiri. Mereka tidak tahu betapa aku mencintainya. Bahkan Mafu sendiri terkadang tidak menyadarinya.

Ketika Mafu dirundung pun, aku tidak melakukan apa pun. Mataku menyaksikan seragamnya disobek-sobek. Menyaksikan tubuhnya dirusak. Menyaksikan ia meringkuk di kamar mandi kala sekolah telah berakhir, merutuki dunia. Yang dapat kulakukan hanyalah menjilat air matanya, memeluknya, menenangkannya.

Ibaratkan pada Mafu yang tenggelam, di dalam laut tanpa belas kasih. Aku berdiri di tepi pantai, menyaksikan seluruhnya kacau balau. Tangan kurentangkan hingga menggapainya, tetapi....

Kuharap aku dapat menghentikan mereka, namun tidak bisa. Tidak akan bisa, hingga Mafu sendiri-lah yang melaksanakannya.

Namun aku tak menyangka semua hal itu berakhir dengannya melompat ke rel kereta. Ia mengakhiri hidupnya, tepat di depan mataku. Berulang kali kuyakinkan bahwa diriku tak bersalah dalam kematiannya. Akan tetapi, rasa bersalah tetap ada. Mungkin memang kenyataannya begitu; akulah yang bersalah.

Perasaan membenci diriku sendiri ini memakanku dari dalam.

Hey, Mafu, tak maukah kau menyelamatkan diriku yang menyedihkan ini?

---

Meski rerata pemakaman yang kulihat di berbagai film drama berlatarkan langit mendung dan awan menangis, nyatanya tidak. Hari itu begitu cerah. Saking teriknya, kami harus memakai payung agar ganasnya matahari tidak membahayakan kulit.

Setelah pidato penuh air mata dan pelemparan bunga di atas kuburannya, satu-persatu pelayat mulai pulang. Yang lama berada di sana tentu keluarganya. Ibunya menangis, memeluk batu nisan miliknya. Ayahnya sendiri menggenggam bahuku.

"Nak Soraru, maaf ya."

Entah kenapa beliau meminta maaf. Mungkin karena mereka merasa bersalah telah membiarkan remaja seumuranku menyaksikan sahabatnya ditabrak kereta. Aku menggeleng lemah. Ini bukan salah kedua orang itu. Namun hendaknya semua manusia memiliki penyesalan masing-masing, karena mereka tak berhenti meminta maaf padaku dan anak lelaki mereka yang sudah tiada itu.

Akhirnya, kedua orangtuanya berpamitan untuk yang keterakhir kali. Padaku, dan pada mayat lima kaki di bawah tanah. Aku sendiri? Aku tetap tinggal di sana. Air mata sudah mengering, menyisakan luka di hati yang tak dapat sembuh, sekuat apa pun kumencobanya.

Aku tak tahu kenapa aku terus memandangi kuburan itu. Mayat hidup itu tidak ada. Mafu tidak mungkin tiba-tiba mengorek tanah di tempat peristirahatannya lalu muncul kembali di bumi. Sudah tamat, ceritanya sudah tamat.

Tiba-tiba, sebuah gumpalan kertas membentur kepalaku. Terpental hingga jatuh di atas tanah kuburannya. Pelan-pelan, aku mengambil dan membukanya. Isinya membuat hatiku teriris.

Intinya UtaiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang