2

146 79 106
                                    

3 Januari 2001

Tidakkah salah seorang Lakara memberi tantangan?

Agaknya dia sudah lupa, bahwa sahabatnya ini adalah pemenang disetiap pertempuran perasaan.

“Jika tidak ingin, tidak masalah. Itu adalah bukti nyata bahwa Buana Agistara takut dalam jebakan Bumantara!” Tutur Lakara dengan tertawa keras.

Kulihat dia sudah berlari jauh di depan sana, dan sesekali berbalik untuk tertawa mengejek padaku.

Cih... Di mana-pun, aku selalu menemukan orang aneh. Anehnya, hanya Lakara yang anehnya bisa ku atasi.

Buana Agistara kalah?
Tentu, itu tidak akan!

Getaran hingga ombak laut-pun akan tahu, pada akhirnya Buana akan selalu menang.

Aku belum melangkah. Untuk apa membuang waktu untuk si tokek Arshaka Bumantara?

Itu adalah hal yang bodoh.

Jika diharuskan, aku butuh alasan yang signifikan.


***

“BUANA......”

Agak-agak dari nada dan intonasi, teriakannya itu adalah Lakara.

Dan benar! Kulihat dari atas melalui jendela, ia datang dengan pakaian tidur bermotif beruang.

Untuk apa perahu kecil itu datang lagi sore ini?

Sore, dijam seperti ini, hanya ada 2 kemungkinan yang menjadi alasan ia datang memanggil.

Yang pertama, ingin makan mie pangsit. Yang kedua, ingin jalan-jalan ke pelabuhan.

“BUBU ....” Teriak Lakara sembari menggerakkan tangannya ke atas untuk berdadah.

Segera aku turun kelantai dasar dan menuju kearah pagar, di sana Lakara berdiri dengan senyum merekah.

Ahh... Dia imut, sungguh sayang jika Andala mencampakannya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Mau ke pelabuhan tidak? Tapi, nanti kita beli mie pangsit dulu, setelah itu makan di pelabuhan.” ajak Lakara.

Kan... Apa yang sudah ku tebak.

“Bubu! Mau tidak? Nanti aku yang traktir, bagaimana?” tanya Lakara sedikit menawar.

‘Traktir’ kata itu adalah hal yang jarang dilakukan oleh Lakara.

Maka, jika akan kenyang dan tidak mengeluarkan uang, aku akan berkata, “Iya.”

Kulihat wajah Lakara bahagia, hari ini adalah hari pembalasannya untuk makan mie pangsit karna seminggu lalu ia sedang ‘bokek’.

Selang beberapa menit lalu, aku dan Lakara sudah berkendara di jalan raya membawa bungkusan mie.

Ditemani bumi kota Jakarta saat sore, dengan udara yang sejuk tanpa terik matahari.

Setelah membeli mie pangsit, aku dan Lakara menuju ke pelabuhan dengan motor Vespa.

Vespa pinjaman.

Sangat disayangkan, sedikit lagi hampir sampai, ban motor malah gembos

Entahlah, yang jelas saat kulihat banyak paku yang berserakan.

Dasar! para oknum bernama manusia yang tidak mencari uang dengan halal!

Aku turun dari motor dan menepikan motor ke bawah pohon, kulihat Lakara masih menenteng bungkusan mie pangsit itu.

“Punya pompa tidak?” tanyaku pada Lakara.

“Tidak. Sekarang harus bagaimana?”

Ya mau bagaimana lagi, kita harus mencari bengkel dan mengisi pompa. Dan, itu adalah kewajiban karna kita meminjam motor orang.

Beberapa menit aku dan Lakara singgah ditepi jalan. Mie pangsit yang tadinya hangat sekarang sudah dingin.

Ayolah, kita tidak boleh pasrah! Tadinya ingin menelpon orang, tapi Lakara tidak punya pulsa dan aku tidak punya hp.

Ini adalah bonus kesialan.

Saat aku dan Lakara ditepi jalan raya, satu pemuda dengan helm dan jaket berwarna deep green mengesampingkan motor yang ia kendarai, singgah di samping motor pinjaman tetangga yang mogok.

Hei, daksanya tidak asing. Kenapa begitu familiar?

Ahh... Sial!

Saat pemuda itu membuka helm, ternyata dia si Bumantara.

“Buman!!! Kebetulan!” seru Lakara saat melihat wajah Bumantara.

Makhluk itu tersenyum, berlagak layaknya pahlawan.

“Buman, ban motor ini gembos, dan kita tidak punya pompa.” lanjut Lakara sembari menunjuk motor pinjaman.

“Ban gembos?” tanya Bumantara sembari membungkuk melihat ban depan.

“Iya, kamu punya pompa?”

“Sebentar.” balas Bumantara yang kini sedang mengecek ban depan yang dikatakan ‘gembos’.

“Wahh... Ini benar-benar gembos!” kata Bumantara.

Ck, dari awal sudah dikasih tau!

Dengan segera Bumantara berjalan mengambil pompa yang ia taruh dalam tas.

Kenapa timing-nya sangat pas?

Takdir atau rencana? Entahlah.

Di sisi lain, Lakara sudah menganggap Bumantara adalah pahlawan kesorean.

“Terima kasih Buman!” ucap Lakara ketika Bumantara selesai memompa ban.

Bumantara tersenyum sebagai pengganti ucapan terima kasih Lakara. Dan, melihat kearah ku.

Apa yang dia inginkan? Dia ingin aku mengucapkan ‘Terima kasih’?

Oh, tentu tidak. Buana Agistara hanya berterima kasih ketika alunan musiknya membuat seseorang bahagia.

Dia menatapku dengan tersenyum, “Kenapa? Matamu katarak?” sinisku pada Bumantara.

Aku risih ketika dilihat begitu.
Kesempatan sekali dia.

“Tidak. Terima kasih,” balas Bumantara.

Lihat, di mana-mana dia pasti memiliki jawaban yang nyeleneh.

Untuk itu aku tidak membalas, segera aku naik ke motor dan diikuti Lakara yang duduk di belakang.

Bumantara masih tersenyum saat kulihat dari kaca spion.

Manusia bodoh.


@rnndt_sfyn

 

  See you next 💫

SAJAK NABASTALA || END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang