7

89 50 60
                                    

"Bagitu banyak hubungan korelasi antara langit dan dunia. Dengan itu, cerita ini serasi dengan getaran kama."
***

14 Februari 2001

"Nona, tolong maafkan Tara-mu ini,"

Kalimat dengan kata yang sama berulang-ulang memenuhi gendang telingaku. Menyebalkan sekali.

Aku nona? Berarti dia Art.

Dia sangat tidak jelas.

Enak saja mau mendapat maaf setelah berkelimpungan dengan gadis Gerilya.

Aku berbalik menatapnya. "Untuk apa minta maaf? Pergi sana!" Usirku padanya.

Kembali kulihat bibirnya naik. Sebentar lagi copot dari wajahnya.

Apa yang lucu sih? Aku sedang marah, dia malah tertawa.

Ingin mendapat maaf atau masih ingin menggoda?

Aku mendelikkan mata kepadanya sembari melipat tangan. "Pergi! Aku tidak butuh kamu. Sana!"

Ia menghela nafas dengan senyum yang menawan.

Sejujurnya ingin kumaafkan, tapi itu akan terlalu mudah untuknya.

"Dalam hubungan harus ada timbal balik bukan?" tanyanya. "Seharusnya kamu mengajakku bicara setelah dapat surat itu!" lanjutnya mendesak.

Nadanya ditekan seperti meminta di-iya-kan.

Aku mendelikkan mataku lagi.

Aku rasa, hari ini mataku sudah mendelik lebih dari dua puluh kali hanya karena seorang Arshaka Bumantara.

"Ini timbal baliknya. Kamu suka menggoda, iyakan? Untuk apa menggoda Buana lagi? Apa gadis Gerilya tidak cukup? Itu membuatmu senang, iyakan?"

"Tara-mu tidak melakukan apapun. Tidak melewati batas lebih." protesnya.

Dia benar juga. Namun, itu tetap salahnya. Karena, perempuan tidak akan mengejar jika tidak diberi harapan.

Kalian pasti bertanya-tanya kenapa Bumantara menyebut dirinya 'Tara-mu' padaku.

Maka jawabannya sudah jelas. Termaktub, Bumantara milik Buana. Sejak tahun 2000.

Aku sedikit menghela napas."Kamu pikir aku gadis sembarangan?"

"Kamu gadisku, bukan gadis sembarangan." tangkas Bumantara dengan menggelengkan kepala tidak terima.

"Jika seperti itu, harusnya kamu lebih mementingkan aku dari pada Amerta."


***

Malam ini hujan lagi. Apa langit sedang sedih? Ataukah dunia yang menginginkan awan memberi imbalan?

Setetes, dua tetes, tiga tetes, entah sudah tetesan keberapa air mataku turun hingga merembes pada bantal.

Mungkin langit sedang mengejek Buana yang perasa. Perasa dalam segala hal. Namun, di sisi lain Aku-Buana tidak ingin dikatakan cengeng.

Na'as. Sudahlah, air mataku ingin menatap dunia. Setelah sekian lama sembunyi di belakang bola mata.

"Nona, maafkan Tara-mu ini."

Ucapannya terbayang lagi dipikiran. Katanya Bumantara menyesal, tapi tidak dengan penyesalan dimata. Apa dia pikir maafku semudah itu?

Melakukan, lalu berakhir minta maaf.
Bagiku itu menyakitkan. Apakah harus ada kata 'maaf' dalam hubungan?

"Kamu gadisku, bukan gadis sembarangan."

Begitu katanya.

Jika aku gadisnya, seharusnya dia memperlakukan aku dengan lebih dari gadis lain.

Jika aku bukan gadis sembarangan, harusnya dia tidak memperlakukan diriku dengan sembarangan.

Kalimat yang dia lontarkan begitu manis. Sangat manis sehingga aku tidak tahu mana yang benar-benar tulus.

Buman, aku cinta. Tapi aku tidak suka merasakan cinta. Berusaha menyatukan rasa denganmu itu seperti menggenggam pecahan kaca.

Kamu memberi mala, namun hadir dengan panasea. Hingga akhirnya, perlahan rasa sakit itu menjadi figura rudira.

Sakit. Tapi rasanya tenang.
Tenang, tapi rasanya menyakitkan.

@rnndt_sfyn

_______________
Kama: Dipuja.
Rudira: Darah.
Mala: Sengsara.
Korelasi: Timbal-balik.
Panasea: Obat semua luka.

See you next 💫

SAJAK NABASTALA || END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang