Epilog

82 46 62
                                    

Lagi dan lagi, akara Bumantara datang menghampiri. Kembali memberi luka pada dahayu yang tengah merindu.

Pada akhirnya, langit yang ia cinta telah pergi akibat keangkuhan dunia.

Sekali lagi, rinai turun menghampiri bumi. Seakan mampir untuk memberi surat bahwa ia enggan untuk hilang.

Enggan untuk meninggalkan gadis bintangnya.

***

Bandung, 12 Februari 2005

“Bulan itu indah. Seindah melodi Agistara.”

“Bulan itu cantik. Sayangnya, tidak secantik Buana Agistara.”

Aku rasa, perkataanku waktu itu benar adanya. Buana hanya satu di dunia.

Gadis milikku hanya satu, dan hanya untukku.

Selain cantik, Nona-ku itu lucu. Sangat lucu, sampai-sampai aku tidak tahu harus bagaimana lagi.

Dia yang menyuruhku pergi, tapi sekarang? Malah dia yang pergi.

Sekarang langit terasa kosong. Bintang-pun rasanya takut untuk hadir. Untuk bulan? Bulan sedang bersembunyi saat ini.

Lalu nabastala harus apa? Ia hampa. Bintangnya menghilang, bulan hanya bisa ia kenang. Bahkan, bintang bima sakti-pun tidak mampu menyelundupkan terang dikegelapan Bumantara.

Sedikit aku tertawa, apa aku se-menyebal-kan itu? Sampai-sampai Buana berkali-kali mengutukku?

Sejenak kuusahakan untuk menghilangkan perasaan ini. Kembali aku melihat Harsa yang bertamu di hadapanku. “Apa masih ada lagi?” tanyaku.

Sedikit ia mengerutkan dahinya. “Aku rasa tidak ada. Buana hanya menceritakan itu padaku.” jawabnya, “Selebihnya tidak ada.” akhirnya sembari menyeruput secangkir teh.

Aku sedikit tertawa miris ketika mendapat jawaban dari Harsa.

Apa aku seburuk itu? Sampai-sampai dari awal hingga akhir cerita aku dicap sebagai antagonis oleh Buana.

Rasanya sakit hati sekali. Padahal banyak cerita yang indah tentangku dan dia.

“Buman, sepertinya sudah cukup untuk hari ini. Aku akan pergi ke Jakarta nanti malam.” kata Harsa berniat untuk berpamitan.

Aku hanya mengangguk dan mengantarnya sampai depan pintu rumah.

“Ingin apa lagi kau?” tanyaku pada Harsa di depan pintu.

“Bintang ada banyak di dunia.” kata Harsa.

Akhir-akhir ini, sepertinya Harsa banyak bicara.

Aku tersenyum dan mengangguk pada Harsa. “Baiklah.”

Setelah mendengar, Harsa masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan garasi rumahku.

Kedatangannya hari ini, kembali mengingatkan perihal masa lalu. Entah ini kebetulan ataukah memang rasa sakit yang sengaja diingatkan.

Mungkin bagi sebagian orang, cerita ini telah dipaksa untuk berakhir, dan aku-pun berpikir seperti itu.

Sayang sekali. Langit yang harusnya dihiasi bintang malah terlihat polos.

Tapi, itu tidak masalah.

Yang memberi luka adalah Buana. Maka bagiku, itu bukan luka. Jika Buana yang memberi luka, maka itu adalah goresan mudita untuk Bumantara yang tidak tahu salah.

Apa kalian bisa melihatnya?

Tentu tidak bisa.

Sebingkai foto kecil, dengan daksa yang indah nan jelita tengah tersenyum memegang bunga primrose. Lihat, Nona-ku sangat cantik saat memakai bandana kesukaannya.

Rasanya aneh sekali. Dahulu aku langsung melihatnya, sekarang hanya bisa kukenang melalui foto-foto yang ada.

“Nona, jangan dengarkan perkataan Harsa yang bagong itu. Bintang memang banyak, tapi bintang seperti kamu langka adanya. Sejujurnya, kamu adalah gadis terbaik yang pernah Bumantara miliki. Kamu memutuskan untuk pergi, dan itu aku terima ...”

Bukankah terlihat aneh jika aku berbicara dengan sebuah foto? Jika ingin tertawa, silakan saja.

Cukup sampai di sini tentang kisah langit dan dunia.

Untuk setiap pertanyaan yang Buana berikan. Jawabannya sudah ada.

Aku memang pandai merangkai kata. Tapi sajakku hanya tertuju pada Buana.

Yang penting, seluruh sajakku sudah dia baca. Terserah jika dia menganggap surat itu adalah sampah. Aku tetap terima.

Pada akhirnya, aku telah membuat Buana jatuh dalam setiap perangkap. Sayangnya, aku terlalu lemah sehingga aku kalah dalam setiap permainannya.

Sudahlah.

Sekarang hujan turun tiba-tiba.
Apa mungkin langit sedang ingin bergurau?

Jika itu maksud dari kedatangan hujan. Maka aku ingin menitipkan sedikit harapan untuk Buana Agistara.

Hujan dan udara cukup menjadi melodi surat dariku. Surat berisi prakata bahwa ...

Tara-nya saat ini dikabuti kerinduan. Tara-nya hanya berharap, bahwa Buana bisa hidup dengan bahagia. Setidaknya jika tidak bersama, di sudut bumi lain Buana harus hidup dengan ceria.

Aku tutup tirai kisah kita.

“Nona, jadikan aku tuan tokek-mu sekali lagi dikehidupan selanjutnya.”













Kring ...

Melodi nyaring bersenandung di telinga Bumantara pagi ini, tidur panjang ia lewati kini ia terbangun dari mimpi tentang Buananya.

“Buman, aku akan pulang hari ini. Jemput aku di stasiun kereta nanti malam.” ucap Buana yang tersalurkan melalui telepon genggam.

“Kamu tahu tidak, aku hampir mati karena mimpi.” - Bumantara

@rnndt_sfyn

_________________
Selesai

Langit dan dunia menjalin kisah untuk  hal-hal keegoisan. Layaknya melodi gistara yang mengalun perlahan, kehidupan juga memiliki makna yang sama.

SAJAK NABASTALA || END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang