4

110 71 87
                                    

23 Januari 2001

“Harusnya jangan dikembalikan sekarang.” kata Bumantara saat aku menyerahkan jaket hijaunya.

Cihh... Mau dia apa sih? Sangat aneh. Dasar tokek.

“Terserah aku!” jawabku pada Bumantara.

Kulihat, dia terkekeh sembari melipat jaketnya. “Kamu pencuri.” Tuduhnyq padaku setelah melihat pena yang kupegang.

Dasar. Ini pasti salah satu triknya.

Mendengar perkataannya, aku langsung menaruh penanya ke atas meja.

Dia tidak tahu. Aku sudah hafal dengan berbagai macam trik dan cara aneh para pemuda. Aku sudah lolos.

“Aku tidak mencuri, dia datang sendiri.” bela-ku tidak mau kalah.

Bumantara memicingkan mata sejenak. “Benarkah? Kamu sudah mencuri pena dan hal berhargaku.” Tuduhnya lagi.


Aku melipat tangan, dan memutar bola mata. “Mau mu apasih?” Tanyaku sinis pada Bumantara.

Sebenarnya, bisa saja aku pergi.
Sayangnya, ini tidak akan seru.

Bukankah sudah kukatakan? Bumantara membuat Buana merasa tertantang.

Kulihat, Bumantara menghembuskan nafas sejenak, lalu tersenyum. Senyumnya sedikit manis. Tapi, aku tahu itu tipu muslihat.


“Barang siapa mengambil kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimilki sendiri, akan diancam pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.” jelas Bumantara.

Hei, tidak salah. Dia anak pengacara bukan?

Sok sekali.

“Lalu?” tanyaku lagi.

Aku melihat Bumantara mengambil pena, dan mengaitkan benda lusuh itu kekantong seragam yang ia pakai.

“Kamu cukup menjadi tahanan hatiku. Tidak perlu melakukan hal yang kusampaikan tadi.” ujar Bumantara menggoda.

Mendengar perkataannya, aku terkekeh sedikit dan membenarkan bandoku. “Jika kamu mencemarkan nama baikku, akan kupastikan kamu dipidana empat tahun. Dan didenda sebesar tujuh ratus lima puluh juta.” Ketusku pada Bumantara.

Dia pasti berpikir aku tidak tahu. Sayangnya, dia belum mengenal Buana Agistara.

Bagaimana lagi? Aku tidak akan kalah.

Dia berbicara tentang hukum dan pasal? Bukankah Buana harus kembali menghajar bola lemparannya?


Aku melihat Bumantara dengan wajah menantang. “Apa lihat-lihat?” tanyaku saat Bumantara melihatku begitu lekat.

Apa mungkin dia terpesona? Aku yakin, iya.

Bukan aku yang masuk dalam jebakan, tapi hati Bumantara yang akan kutarik perlahan-lahan.

Terbukti, iyakan?

“Nona, jika kamu mau, aku bisa memberi bintang yang langit miliki.” ucap Bumantara tiba-tiba.

Entah dia sadar ataukah dia sudah mabuk sekarang.

Aku menatap manik hitamnya dengan nanar, dengan sedikit menyunggingkan senyum. “Ini adalah mata yang selalu membodohi gadis diluar sana.” Batinku lalu mengedarkan pandangan.

Tak berselang lama aku menatapnya, aku berancang ingin pergi, sebelum Bumantara sadar dari pesonaku.

Jika kalian lihat, kalian akan tertawa melihat raja penggoda kehilangan kata-kata.

Mungkin, aku ini seperti sihir. Bumantara sekarang sudah terlena, dan akan kupastikan bahwa Buana adalah bintangnya.

Aku hanya tinggal diam saja. Biar Bumantara yang bersusah payah.

Lihat! Dia bodoh, iyakan?


***

“Aku dapat apa jika menang?” tanyaku pada Lakara.

Malam ini hujan disertai angin, mungkin langit sedang sedih.

Kulihat Lakara menutup jendela kamarnya. Dan aku berbaring di atas kasurnya.

“Dingin sekali,” gumamnya.

“Aku meminta jawaban. Aku akan dapat apa?” Tanyaku ulang sembari melempar boneka kecil milik Lakara.

“Hei! Ini hadiah dari Andala!” Tegur Lakara dengan jari telunjuknya mengarah padaku.

Lihat dia! Pemberian Andala dia jaga, pemberianku dihilangkan. Tidak tahu ke mana. Hanya kalung yang dia pakai yang masih awet.

Yang lain, entah kemana.

Aku memutar bola mata. “Jawab pertanyaan ku!”

“Bukankah Buman sudah bilang. Dia akan memberimu bintang yang langit miliki.” Jelas Lakara dengan duduk di tepi kasur.

Aku terkekeh kecil. “Dia bodoh.” ucapku.

Lakara mengerutkan dahinya tak mengerti. “Setiap pemuda akan bodoh jika bertemu kamu.” Kata Lakara. “Bubu, kamu itu tidak pelit saat menebar pesona. Tapi kamu sulit untuk dicap sebagai 'hak'.” Ujar Lakara panjang lebar secara tiba-tiba.

“Tidak ada hubungannya. Aku adalah hak diriku.” jawabku.

“Itu ada! Kamu lelah dikejar Dean, iyakan?” tanya Lakara.

Hei, untuk apa membicarakan Dean yang tidak tahu malu itu. Memikirkannya saja aku tidak ingin.

“dengan Bumantara, aku pikir kamu bisa menjadikannya sanggahan.” lanjut Lakara.

Aku menghela nafas sejenak, dan menutup mataku. “Tidak sebodoh itu.” 

“Kamu bilang, Buman itu bodoh! Yang benar yang mana?” tanya Lakara dengan jawaban tak pasti dariku.

“Dia bodoh. Akan lebih kasihan jika dia dipermainkan lebih dalam.”


@rnndt_sfyn

See you next 💫

SAJAK NABASTALA || END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang