4. Mati Rasa

3.1K 504 142
                                    

Bab 4 | Mati Rasa

Sudah sekitar semingguan ini Nadia selalu menyempatkan diri 'mengintip' keadaan seorang pasien yang dirawat di salah satu ruang rawat inap. Tiga hari pertama orang itu dirawat di ruang ICU, tapi sepertinya keadaan orang itu sudah membaik hingga telah dipindahkan ke ruang rawat biasa.

Entah Nadia harus ikut bersedih atau malah harus berbahagia dengan keadaan orang itu sekarang?

Ayahnya, seseorang yang dulu sangat ia sayangi itu kini terbaring lemah di atas pembaringan dengan selang infus yang tertancap di tangan kiri. Sang ayah terkena gejala stroke ringan dari informasi yang Nadia dapat dari seorang dokter saraf yang menangani beliau. Penyebabnya adalah jatuh dari tangga yang membuat Nadia sempat bertanya-tanya dalam hati dengan apa yang dilakukan ayahnya itu sampai bisa terjatuh.

Nadia ingin tertawa saat melihat ayahnya yang jatuh sakit dan tidak berdaya. Pikirnya ini adalah karma yang harus beliau tanggung setelah meninggalkannya dulu. Namun, ternyata percik kebahagiaan itu tidak bisa membuatnya melepaskan tawa begitu saja. Pun dengan sebuah rasa yang dinamai kesedihan. Nadia tidak merasakan sesuatu yang membuatnya sampai ingin menitikkan air mata sejak kehadiran ayahnya di rumah sakit tempatnya bekerja ini. Sepertinya hati Nadia memang telah mati rasa.

Perempuan berambut hitam kecoklat-coklatan itu kemudian melirik jam tangannya saat merasa bahwa ia sudah cukup lama berdiri di depan pintu ruang rawat itu. Nadia memang tidak masuk ke dalam, karena tidak ada gunanya juga bila dia melihat keadaan ayahnya dari dekat. Biarlah pria tua itu menanggung kesakitannya sendiri. Toh sudah ada keluarganya yang akan mengurusnya.

"Nadia ...."

Tepat saat Nadia berbalik ingin pergi, seorang wanita berjilbab biru telah berdiri di hadapannya. Entah kapan wanita itu ada di sana. Namun, satu hal yang pasti, Nadia sangat membencinya. Perempuan itu adalah istri ayahnya, perempuan yang telah menghancurkan keluarganya yang dulu amat sangat bahagia.

"Ini benar kamu, Nak?"

Nadia ingin mengelak, tapi sebuah name tag yang terpasang pada jas putihnya tidak bisa ditutupi lagi. Hingga akhirnya Nadia memilih membuang muka dan melanjutkan langkahnya.

"Ayahmu selalu menanyakanmu dan kakakmu. Ayahmu terkena gejala stroke. Kondisinya pasti akan membaik kalau kamu mau menemuinya." Wanita yang wajahnya tampak lelah itu memegang tangan Nadia agar dokter spesialis kulit dan kelamin tersebut berhenti melangkah.

Cuih, Nadia ingin sekali meludah tepat di depan wanita yang tidak tahu diri itu.

Ayahmu ....

Ayahmu ....

Bla bla bla ....

Percaya diri sekali wanita itu sampai-sampai berpikir Nadia mau menjenguk sang ayah. Bagi Nadia sudah tidak ada ayah sejak pria itu pergi keluar dan malah membentuk sebuah keluarga baru dengan wanita lain.

"Tante mohon, Nak. Sebentar saja." Wanita itu mengiba saat Nadia menarik tangannya supaya terlepas dari cekalannya. "Tidak ada orang lain yang ada di pikirannya selain kamu dan kakakmu. Ayahmu sangat menyayangimu."

Nadia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jasnya yang putih sambil menarik napasnya dalam-dalam. Dia lalu menoleh dan menatap mata sayu wanita itu dengan tatapan tidak suka yang sangat kentara. "Tante, ini masih terlalu pagi untuk bersandiwara. Lebih baik Anda sarapan dulu supaya memiliki banyak tenaga untuk mengurus suami Anda yang sedang sakit itu." Setelah mengucapkan jawaban yang membuat lawan bicaranya ternganga, Nadia benar-benar pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

_____

"Masuk."

"Selamat siang, Pak. Permisi... saya membawakan makan siang Anda."

Seikat JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang