Wah wah… kemarin ada yang bakar lapak ini.
Beneran jadi panas dong si Rama sama Nadia
Ayo sekarang bakar lagi 😄
Yang banyak
Bab 2 | Istrimu Harus Tahu
Pagi hari setelah Nadia keluar dari kamar. Ia mendapati Rama yang berdiri di depan mesin kopi, tengah menunggu cangkirnya penuh, mungkin. Dalam hatinya merasa keheranan karena pria itu masih mengenakan pakaian tidurnya. Ini sudah pukul delapan pagi, tidak biasanya Rama masih berada di rumah.
Alih-alih bertanya demi memuaskan keingintahuan dalam hati, Nadia malah langsung beranjak menuju tempat penyimpanan sepatu yang berada di balik pintu. Sejenak menimbang warna yang serasi dengan baju kerjanya hari ini, wanita itu akhirnya memilih sepatu berwarna putih dengan hak setinggi lima senti.
Rama yang masih betah menunggu kopinya, kini mulai menyedekapkan kedua tangan di depan dada. Telinganya sudah mendengar pintu yang terbuka lalu tertutup lagi. Nadia sudah pergi dan pura-pura buta jika di rumah ini ada nyawa lain yang tinggal.
Ia lalu mengembuskan napasnya yang berat. Ketimbang seperti pasangan suami istri, dirinya dan Nadia lebih pantas disebut sebagai teman sekamar.
Tidak.
Jika dipikir-pikir lagi hubungan mereka tidak sedekat itu. Teman pasti akan selalu bertegur sapa apabila sedang bertemu. Namun, mereka tidak melakukan hal serupa. Mereka hanya akan saling bicara bila ada kepentingan. Itupun jika sudah sangat mendesak.
Ting Tung.
Beberapa saat setelah ia duduk, lelaki bermata sipit tersebut lalu meletakkan cangkirnya di meja makan usai menyesapnya sedikit. Ada suara bel yang ditekan satu kali. Bergegas Rama membukakan pintu untuk orang yang telah ia tunggu-tunggu itu.
“Mama tadi lihat Nadia di bawah. Jangan bilang kalau dia nggak tahu kalau kamu lagi sakit.”
Rama mencebik pelan, bukannya ingin berlaku tidak sopan. Namun, seharusnya ibunya itu mengucap salam dulu saat memasuki rumah. Semestinya juga menanyakan kabar anaknya ini dulu daripada membicarakan hal lain. “Buat apa juga dia tahu,” jawabnya sembari melengos pergi, kembali ke pantry.
Ibu Dina balas mendecih melihat kelakuan anak bungsunya tersebut. Bisa-bisanya Rama meninggalkannya di depan pintu begini. Dengan barang bawaan yang cukup banyak.
“Mama mau minum apa?” tanya Rama ketika suara langkah kaki ibunya semakin mendekat.
“Udah. Nggak usah.” Ibu Dina meletakkan tas tangan dan tas bekalnya di atas meja makan, lalu duduk di kursi meja makan. “Kalian itu udah menikah satu setengah tahun lho, Ram.” Sambil mengeluarkan rantang dari tas bekal, beliau kembali mencerca sang anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seikat Janji
Fiction généraleSatu setengah tahun hidup bersama Rama Abimana Widjaya, Nadia Bararatu Irawan merasa hanya sedang membuang-buang waktu. Menikah tidak pernah ada dalam daftar rencana masa depannya. Namun, takdir malah membuatnya harus berakhir dengan pria yang bahka...