Bab 8 | Pengaruh Minuman
“Kamu udah bawa yang kemarin mama bilang?”
“Udah, Ma. Tenang.”
Percakapan ibu Dina dan anak tengahnya, Raka, terhenti karena Rama datang bergabung ke meja mereka. Ibu Dina meraih gelas minumannya sementara Raka melambaikan tangan kanannya kepada sang adik.
“Hai apa kabar?”
Bulu kuduk Rama tiba-tiba berdiri, bergidik ngeri karena sapaan kakaknya yang tidak biasa. Senyum Raka sangat aneh dilihat. “Jangan bilang kalau Mbak Tiara hamil lagi,” ujarnya masih menjaga jarak satu kursi dengan kakaknya itu.
“Ide bagus.” Raka menjentikkan jari, masih sambil tersenyum aneh saat menatap Rama. “Nadia mana?” sambungnya menanyakan keberadaan si calon korban dari rencana sang mama.
Rama menghentakkan dagunya pelan menunjuk ke arah Nadia yang sedang berbincang dengan Tiara dan Melissa serta si pemilik acara, Eliana yang malam ini merayakan ulang tahun pernikahannya yang memasuki tahun kelima belas. Sesekali Nadia akan tersenyum manis saat yang lain tertawa.
Raka mengangguk-angguk lalu melirik sang ibu yang kini tampak sibuk dengan ponselnya. Entah hanya pura-pura atau betulan sibuk.
“Ma.”
“Hmm ….”
“Pada kenapa, sih?” seru Raka setelah menangkap keanehan antara ibu dan adiknya tersebut. Saat datang tadi Rama memang mencium punggung tangan ibu Dina, tapi respon beliau tidak seperti biasa.
“Mama ngambek,” sahut Rama sekenanya, lalu meraih botol air mineral yang telah tersaji di atas meja berbentuk lingkaran di hadapannya itu.
Ibu Dina mendongak dan langsung menatap si anak bungsu yang malam ini tampak gagah dengan setelan jasnya yang berwarna hitam, tak jauh berbeda dengan kakaknya yang memakai jas warna serupa. Dalam hati merasa bangga karena semua anak-anaknya memang tampan rupawan. Jika Raga malam ini juga hadir, tentu rasa bahagianya akan berlipat ganda. Sayangnya Raga dan keluarga kecilnya masih ada di luar negeri. Mereka baru akan pulang saat ulang tahun kakeknya nanti.
“Kok bisa?” Raka bertanya lagi. Atas perintah sang ibu, dia memang yang akan mengeksekusi rencana yang telah dibuat. Namun, Raka sebenarnya belum mengerti betul mengapa ibunya sampai tega seperti itu kepada sang menantu bungsu.
“Adikmu itu, ganteng-ganteng oon.”
“Astagfirullah ….” Rama langsung beristighfar, sedangkan Raka mengusap dadanya sendiri sambil bergantian menatap adik dan ibunya demi meminta penjelasan.
“Gimana nggak oon, Ka? Satu setengah tahun lho. Udah satu setengah tahun.” Terdapat banyak penekanan saat ibu Dina berucap. “Masa belum ngapa-ngapain.”
“Ngapain gimana maksudnya?” tanya Raka yang belum paham. Dia lalu melirik Rama yang malah kembali meneguk air mineralnya sampai habis separuh botol. Tampak sangat frustasi.
Ibu Dina menatap sekelilingnya sebelum menyondongkan badan mendekat kepada si anak tengah. Beliau berbisik pelan di dekat telinga Raka. “Belum pernah proses.”
Raka mengangguk-angguk mengerti. Ucapan ibunya memang ambigu, tapi isyarat tangan dari beliau membuatnya menjadi paham. Lelaki sipit itu lantas menoleh kepada adiknya lagi. “Lo cowok bukan, Ram?”
Rama menutup botol dan meletakkannya di meja dengan sedikit bantingan. Setelahnya dia lalu beranjak meninggalkan meja yang baru dihuni oleh ibu dan kakak tengahnya itu. Lebih baik dia ikut ayahnya saja meski harus bergabung dengan para orang tua.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seikat Janji
Ficción GeneralSatu setengah tahun hidup bersama Rama Abimana Widjaya, Nadia Bararatu Irawan merasa hanya sedang membuang-buang waktu. Menikah tidak pernah ada dalam daftar rencana masa depannya. Namun, takdir malah membuatnya harus berakhir dengan pria yang bahka...