3. Perhatian Kecil

3.4K 484 35
                                    

Bab 3 | Perhatian Kecil

“Besok biar Mama bicara sama kakekmu.”

“Mau bicara apa?” Rama yang baru saja selesai mencuci rantangnya lalu berbalik dan menatap ibunya dengan-agak-malas. Entahlah, dia merasa terancam bila ibunya sudah berkata seperti itu.

“Biar kamu dikasih libur lah.”

Nah, benar, kan? Lagipula libur untuk apa? “Aku nggak pa-pa, habis ini pasti juga udah baikan. Kan udah dapet asupan nutrisi dari mama tercinta,” tutur Rama sebelum menghabiskan kopinya tadi. Ada sedikit gurauan yang ia imbuhkan pada kalimatnya. “Kerjaanku lagi banyak banget, Ma,” sambungnya jujur.

Menjabat sebagai seorang direktur di salah satu perusahaan sang kakek membuat Rama memikul tanggung jawab yang besar. Lelaki tersebut memang lain dari kakak-kakaknya yang terjun kedalam bidang pembangunan. Rama tidak begitu menyukainya karena menurutnya ilmu arsitektur dan teknik sipil sangatlah rumit. Salah perhitungan sedikit saja bisa membuat runyam segalanya.

Belum lagi jika sampai ada korban jiwa.

Seperti yang pernah ia saksikan semasa kecil ketika ia ikut sang ayah mengunjungi proyek pembangunan jembatan. Saat itu Rama adalah anak usia tujuh tahun yang tidak bisa duduk diam dalam waktu yang lama. Setengah jam ditinggal sendirian di mobil membuatnya gerah dan bosan meski dengan jendela yang terbuka. Niatnya keluar hanya untuk menghirup udara segar, tapi kakinya malah melangkah cukup jauh. Rama kecil hanya tahu senangnya saja saat ia melompat dari atas beton ke beton yang lainnya.

Hingga tiba-tiba ada sebuah teriakan dari arah belakang. Rama baru akan menoleh, tapi tubuhnya sudah terdorong maju sampai terjerembab ke tanah yang becek. Kesadaran belum ia dapatkan sepenuhnya saat lagi-lagi tubuhnya yang terasa lemas harus pasrah berada dalam gendongan seorang pria yang berlari menjauhi lokasi. Dari atas bahu orang itu Rama bisa melihat beton-beton tempatnya bermain tadi sudah berlumuri darah dari seseorang yang tertimpa beton dari atas jembatan. Ketika orang-orang mulai mengerumuni tempat itu, pandangan Rama mulai mengabur dan gelap.

“Karena pekerjaanmu itu sampai kamu nggak punya waktu buat Nadia.”

Sahutan dari sang ibu membuat Rama hampir memuntahkan kopi yang baru ia seruput. Siapa disini yang tidak punya waktu? Rama? Bukankah Nadia sebenarnya juga sama? Wanita itu juga tidak memiliki waktu untuknya. Dia bahkan bekerja di dua tempat sekaligus.

“Ram, wanita itu butuh perhatian. Mulai dari perhatian kecil sampai perhatian besar. Kalau kamu aja cuek sama Nadia, gimana rumah tangga kalian nggak kayak es batu begini?”

Ya… itu benar, dan es batu yang setiap detiknya selalu mencair itu sebentar lagi akan habis.

Lalu tentang perhatian? Siapa yang tidak memberi perhatian? Jika Rama tidak perhatian, mana mungkin dia selalu ada waktu untuk kakek Nadia saat beliau dulu selalu mengajaknya bertemu tanpa aba-aba terlebih dahulu. Rama juga selalu memuji-muji Nadia saat di depan almarhum kakeknya. Rama sering mengatakan bahwa Nadia adalah istri yang sangat baik dan rajin. Rama bahkan bilang bahwa Nadia tidak pernah mengijinkannya bekerja jika belum memakan masakannya di pagi hari. Padahal Rama bahkan tidak tahu apakah Nadia bisa memasak atau tidak.

“Pokoknya Mama tetep mau bicara sama kakekmu biar kamu dikasih libur, minimal satu bulan.”

“Mama, aku cuma pusing, aku nggak lagi koma ….” Rama tentu sangat terkejut. Satu bulan itu bukan libur, tapi dipecat.

“Huss.” Jika tangan Ibu Dina bisa menggapai kepala Rama, pasti beliau sudah menempeleng anaknya itu. Sembarangan saja jika bicara. “Nanti biar kalian bisa liburan bareng. Masalah tiket biar Mama yang urus, kamu mau liburan kemana?”

Seikat JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang