Baru keluar dari oven, masih anget.
Bantu tandai typo, yaaaa
Bab 5 | Aku Akan Mengurusmu
Dua potong sandwich keju daging sudah tersaji di atas meja ketika Rama keluar dari kamarnya. Pria itu lantas menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan seseorang yang membuatnya. Namun, tidak ada, sosok Nadia tidak tertangkap oleh kedua mata. Rama mendesah kecewa karena sepertinya sandwich itu sangat enak. Dia tidak mungkin langsung menyantapnya tanpa ijin lebih dulu dari si pembuat. Sambil menenteng tas kerjanya, Rama lalu beranjak ke tempat penyimpanan sepatu setelah meneguk segelas air bening.
“Tunggu.”
Sepatu kiri berwarna hitam itu menggantung di udara, saat telinga Rama mendengar sebuah suara yang entah mengapa pagi ini terdengar sangat merdu.
“Aku bikin sarapan buat kamu.” Nadia menunjuk ke arah pantry yang bersisian dengan meja makan. “Tapi kalau kamu buru-buru ….”
“Nggak.” Rama menggeleng cepat dan buru-buru meletakkan sepatunya serta melepaskan bagian kanan yang telah terpasang sempurna di kaki. “Aku masih punya banyak waktu,” sambungnya setelah berdiri tegap. Dia lalu berjalan melewati Nadia yang masih terpaku di dekat layar interkom.
Tanpa diperintah, Rama langsung mendudukkan bokongnya di salah satu kursi. Tangan kanannya langsung mengambil sepotong sandwich dan memakannya. Benar seperti dugaannya tadi, rasa sandwich ini lain dari sandwich-sandwich yang pernah ia makan sebelumnya. Lebih enak.
Nadia meletakkan secangkir kopi di dekat piring sandwich. Kopi yang kelihatannya juga sangat nikmat. Ada sedikit uap panas yang masih mengepul di permukaan.
Rama mengingat-ingat mimpinya semalam hingga bisa mendapat keberuntungan di pagi ini, tapi dia tidak mengingat satupun mimpinya. “Terima kasih.”
Mengangguk kecil, Nadia yang sudah rapi dengan blus dan rok kerjanya itu lantas mengambil sebuah kotak bekal dari meja pantry lalu mendekatkannya lagi kepada Rama. Sudah cukup lama hatinya tadi berkecamuk antara akan memberikan bekal itu atau tidak. Namun, saat dia mengingat pesan ibu mertuanya kemarin, Nadia tidak ada pilihan lain lagi selain memberikannya meski masih ada sedikit rasa aneh yang merayap.
Bagaimana jika nanti ibu mertuanya itu datang lagi ke kantor Rama untuk memeriksa?
“Kemarin mama Dina bilang supaya aku buatin bekal buat kamu,” tutur Nadia ketika Rama menatapnya meminta penjelasan. Rama lalu mengangguk dan menyeruput kopinya. “Katanya biar kamu nggak makan sembarangan lagi.”
Uhuk.
“Kamu baru aja sakit, nggak seharusnya kamu makan sambal kayak kemarin. Dari warnanya aja udah kelihatan kalau itu pedes banget. Nggak baik buat tenggorokan.”
Rama mendongak setelah sempat terbatuk-batuk, dia kira kalimat tadi diucapkan oleh sang ibu. Namun, tidak ada beliau di sini. Yang ada hanya Nadia yang sedang menyendok buah alpukatnya dengan tenang.
“Kemarin mama bilang apa?”
Banyak sekali, batin Nadia sembari menelan alpukatnya yang lumat. Ibu Dina tidak berhenti bicara bahkan saat mereka berdua berbelanja bahan makanan di supermarket. Memberitahukan makanan kesukaan dan yang tidak disukai oleh Rama, seolah pria itu akan dititipkan kepada seorang ahli gizi.
“Nggak ada.” Kenyataan yang Nadia tampilkan malah sebaliknya.
“Terus ini.” Rama mengangkat sandwich-nya yang tersisa sedikit. Tidak mungkin jika Nadia melakukannya secara sukarela.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seikat Janji
General FictionSatu setengah tahun hidup bersama Rama Abimana Widjaya, Nadia Bararatu Irawan merasa hanya sedang membuang-buang waktu. Menikah tidak pernah ada dalam daftar rencana masa depannya. Namun, takdir malah membuatnya harus berakhir dengan pria yang bahka...