Quotes hari ini:
"Sesuatu akan terlihat lebih bersinar ketika tidak berada di genggaman kita. Bukan karena sinarnya hilang saat bersama kita. Melainkan karena ketiadaan rasa syukur pada apa yang kita miliki."
(Hanum, gadis yang menyesal melepaskan mantan)Setelah kepergian Tuan Raka ke kantor, akhirnya aku bisa bernapas lega. Sejujurnya, sejak tadi aku merasa malu karena sempat-sempatnya salah sangka dengan panggilan itu. Dia pasti tengah menertawakan kebodohanku. Astaga, aku yakin kalau dia sengaja tadi.
Sejak awal, aku sadar pria itu pasti sudah mengenaliku. Hanya saja, aku yang meyakinkan diri kalau dia sudah lupa.
Sejujurnya, aku merasa cemas. Takut kalau dia malah balas dendam, apalagi dengan posisiku yang hanya seorang pembantu. Dia akan dengan mudahnya mengerjai, dan tentu saja aku tak bisa membalas, apalagi dengan bebas memakinya.
Ah, apa aku menyerah saja, ya, dan membatalkan niat untuk bekerja di sini? Tapi, gaji yang ditawarkan sangat menggiurkan. Terlebih, Bu Lastri mengatakan kalau kinerjaku memuaskan, tentu ada bonus tambahan. Lagipula kalau aku keluar dari sini, mana mungkin aku kembali bekerja di laundry, padahal baru beberapa hari memutuskan untuk berhenti dari sana? Bahkan, aku sangat ingat kata-kataku tempo hari. Kalau sampai kembali ke sana, mau ditaruh di mana wajahku ini?
"Kenapa kamu berhenti?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Mbak Hani, pemilik usaha laundry. Dia menatapku lama, dengan tatapan penuh selidik.
"Kamu mau kabur dari sini?" Pertanyaan Mbak Hani selanjutnya segera kuberi gelengan kepala. Memangnya, aku mau kabur ke mana? Wanita di depanku ini memang aneh.
"Lalu?"
Aku mengembuskan napas pelan. "Aku dapat pekerjaan baru," ini sebuah kejujuran, kan?
Mbak Hani menautkan alisnya. "Di mana? Dan kenapa kamu milih keluar dari sini? Apa selama di sini kamu nggak nyaman?"
Aku menggeleng pelan. Bos galakku itu masih menatap curiga. "Tempat kerja baru menawarkan gaji yang lebih besar," ujarku pelan.
"Hanum, memangnya gaji yang dia tawarkan berapa? Kalau memang gaji di sini kurang, kamu bisa bilang ke Mbak. Biar nanti Mbak tambahkan!" Wajahnya mengetat tanda marah, matanya juga terlihat memerah. Entah dia tersinggung atau bagaimana. Tapi, sejujurnya bukan begitu maksudku.
"Mbak. Bukan gitu! Gaji dari Mbak tentu saja sangat cukup buat aku." Dengan buru-buru aku berucap, takut dia semakin emosi.
"Aku cuma ingin benar-benar mandiri. Maksudku, meski aku mendapatkan uang dari Mbak karena aku bekerja, tapi tetap saja..." Aku menjeda sejenak, menatapnya ragu, takut dia semakin marah, sebelum melanjutkan kalimat, "...Aku bekerja di sini dengan bantuan Mbak. Sepupuku, keluargaku.
"Aku keluar dari rumah, dan bilang ke Mama-Papa kalau aku akan berusaha mandiri. Tapi aku malah minta bantuan Mbak, yang nggak lain adalah sepupuku. Bukannya sama saja aku berbohong ke mereka?" Perlahan, wajahnya mulai mengendur, mungkin saja amarahnya sedikit mereda.
"Aku ingin belajar benar-benar menjadi mandiri. Sejujurnya, bukannya nggak tahu diri, ya, Mbak. Aku benar-benar berterima kasih pada bantuan Mbak selama ini! Tapi, kali ini aku sangat ingin merealisasikan tujuan awalku. Benar-benar bisa hidup mandiri tanpa bantuan keluarga. Kebetulan ada lowongan pekerjaan baru, mungkin ini kesempatan buatku, Mbak. Jadi, izinkan aku keluar dari sini, ya!" Aku menatapnya penuh permohonan.
Mbak Hani, si bos galak yang selama ini sering dijadikan bahan gosip karyawan laundry itu tidak lain dan tidak bukan adalah sepupuku. Mbak Hani memang galak, dan itu kenyataannya. Tapi meski begitu, dia juga penyayang. Dia adalah sepupu perempuan tertua di keluargaku dari pihak Papa, umurnya sebentar lagi akan kepala tiga, tetapi belum memiliki niatan untuk menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuanku Rakaswara
ChickLitPernah merasakan malu sampai ingin nenggelamin diri atau menghilang seketika? Itulah yang aku rasakan saat ini. Saat di mana bertemu orang yang berstatus majikanku sejak lima menit yang lalu. Bagaimana tidak? Dia adalah mantan pertamaku saat kelas s...