Sembilan: Pernah Lihat

129 11 10
                                    

Quotes hari ini:
"Setiap orang memiliki karakter yang berbeda, sekalipun terikat hubungan darah. Namun, di situlah letak spesialnya manusia. Jika semua terlihat sama, lalu di mana letak perbandingannya?"
(Sheevanya, salah satu penghuni negeri +62)

Ketukan pintu terdengar, membuatku yang tengah menonton TV segera beranjak. Saat pintu terbuka, Bu Lastri dan seorang gadis remaja berdiri di sana. Aku menunduk sejenak, kemudian mempersilahkan mereka masuk.

Bu Lastri membalas senyumanku dengan ramah. Sementara gadis itu menatapku dengan mata menyipit. Bahkan ketika Bu Lastri sudah berlalu, dia masih setia di tempatnya dengan tatapan yang sama ke arahku.

"Maaf, Non, ada yang salah sama saya?" Aku benar-benar tak bisa mengontrol rasa penasaranku.

Aku reflek memundurkan kepala saat gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Meskipun wajahnya masih terlihat seperti anak-anak, tingginya bahkan sama denganku.

"Ega, kamu ngapain?" Suara Bu Lastri di belakangku membuat gadis itu kembali ke posisi awal. Aku berbalik, melihat Bu Lastri yang ternyata kembali mendekat ke arah kami. Mungkin dia kebingungan, kenapa aku dan anaknya itu tidak menyusul tadi.

"Liatin Kakak ini, Ma. Ega, kok, kaya pernah liat, ya? Tapi di mana?" Gadis remaja itu memperlihatkan cengiran lebarnya. Aku mengelus dada lega, kupikir tadi ada apa.

"Kamu ini, ada-ada saja! Kalau di sini, jangan ganggu Kak Hanum, ya! Nggak boleh jahil kamu!" Bu Lastri menarik tangan anaknya. Aku tersenyum sungkan ke arah wanita itu.

Tiba-tiba, aku teringat panggilan Tuan Raka kepadaku: Bibi. Tapi adiknya malah manggil aku Kakak. Aku yakin, pria itu nanti akan mengeluarkan protes.

Aku menyusul ibu dan anak itu. "Kalian duduk dulu ya, saya mau pamit untuk buat minuman."

"Eh, nggak usah, Hanum. Sini, duduk dulu!" Bu Lastri menunjuk sofa singel yang ada di samping sofa panjang yang ia duduki.

Aku menurut. Duduk dengan segenap pertanyaan dalam hati. Was-was sendiri, takut ada hal yang akan ditanyakan Bu Lastri dan sulit untuk kujawab.

"Kenalin, ini Ega. Anak bungsu Ibu, adiknya Elgan."

Gadis tadi sontak berdiri dari samping ibunya, dan mendekat ke arahku. Dia menyodorkan tangan, dengan senyuman manis yang terpasang di bibir.

"Ega, Kak!"

Aku berdiri, dan menyambut tangan itu. "Hanum."

"Jadi, Ega itu akan tinggal di sini. Elgan pasti sudah bilang ke kamu, ya? Ibu juga nyaranin ke dia, biar nawarin kamu tinggal di sini. Kamu, kan, belum menikah. Ibu rasa, kamu cocok kalau berteman sama Ega."

Oh, jadi yang memintaku untuk tinggal di sini itu,a sebenarnya Bu Lastri? Kenapa juga Tuan Raka nggak bilang dari kemarin? Kalau dia bilang dari awal, mungkin aku nggak akan dengan sok jual mahalnya menolak.

"Tuan Raka sudah bilang ke saya, Bu," ujarku sambil menatap Bu Lastri.

"Apa? Kak, ulang tadi!" Aku terkejut mendengar pekikan gadis yang berhadapan denganku ini. Jantungku nyaris copot mendengar suaranya yang melengking.

"Tuan Raka su—"

"Cukup!" potong Ega. Dia kemudian berbalik, menghadap mamanya.

"Ma, dengar, kan? Bang Elgan, tuh, astaga! Sejak kapan dia mau dipanggil Tuan?"

Bu Lastri juga mengangguk pelan. Apa ada yang salah, ya?

"Kamu manggil Elgan dengan sebutan Tuan?"

Aku mengangguk patah-patah. Melihat syoknya wajah ibu dan anak di depanku, seketika menimbulkan rasa awas. Takut jika mereka bertanya macam-macam ke Tuan Raka, yang berakhir membuat pria itu semakin kesal padaku.

"Kakak sendiri yang mau? Atau gimana? Maksud aku gini, Bang Elgan itu nggak suka dipanggil Tuan. Kecuali kalau ada sesuatu sama Kakak dan dia. Misalnya, dia nurut gitu, kalau Kakak yang manggil dia dengan sebutan itu."

Oke, Ega anak yang cerewet. Tapi, tunggu! Nurut apa? Yang ada, dia yang nyuruh dan aku yang nurut. Sejak kapan majikan nurut sama pembantu?

"Dia yang minta." Lebih baik jujur, dari pada dicurigai.

Ega menganga. Dengan cepat, gadis itu duduk di samping mamanya. Aku sedikit paham, anak remaja memang terkadang terlalu lebay. Sama sepertiku dulu, tentu saja.

"Ma, lihat, Ma! Bang Elgan itu kesambet apa, coba?"

Bu Lastri terlihat mengembuskan napas berat. Wanita itu menggelengkan kepala pelan, kemudian beralih kepadaku.

"Maaf ya, Nak, Hanum! Ega anaknya emang suka heboh sendiri."

Aku tersenyum sungkan. "Setidaknya sikap dia lebih manusiawi daripada kakanya." cibirku dalam hati. Entah bagaimana nasibku ke depannya menghadapi dua mahluk ini. Semoga aku akan tetap baik-baik saja. Percuma gaji tinggi, kalau tiap hari tensi naik. Yang ada malah harus pilih-pilih makanan, dan nggak bisa menikmati gaji dengan leluasa.

***

Bu Lastri sudah kembali ke rumahnya. Tinggal aku dan Ega di rumah besar ini. Ega sedang menonton Netflix, sedangkan aku saat ini berkutat kembali dengan peralatan dapur.

Ukuran dapur lumayan luas, hingga aku merasa bebas bergerak di sini. Terdapat dua kulkas, satunya berisi bahan makanan seperti sayuran, daging, ikan dan rempah-rempah. Sementara satunya lagi berisi buah-buahan, air mineral, susu, dan snack. Terdapat satu meja makan panjang, dengan delapan kursi. Biasanya, hanya ada aku dan Tuan Raka yang duduk di meja seluas itu. Sekarang, ada Ega yang akan menemani kami, atau bisa saja aku akan disuruh menjauh dulu saat mereka makan.

"Kak, Bang Elgan biasanya pulang jam berapa?" Nyaris saja aku tersedak saat mendengar suara di belakangku. Ega yang datang dan berbicara dengan tiba-tiba, membuatku yang sedang mengecek rasa soup ayam, terkejut luar biasa.

Aku menoleh padanya. "Biasanya setengah enam. Kadang juga jam tujuh."

Anak itu menganggukkan kepala. Dia kemudian duduk di meja makan dengan bertopang dagu.

"Bang Elgan nyebelin, nggak, Kak?"

"Sangat dek! Sangat!" Ingin rasanya menjawab seperti itu. Namun, sebagai babu yang baik, aku nggak boleh berkata yang tidak-tidak. Kalau dipecat, aku harus ke mana coba?

"Kurang tahu juga, Non. Tapi sejauh ini dia baik, kok!"

Baik? Ingin rasanya aku tertawa dengan ucapan sendiri. Ya sudahlah, anggap aja ini pemulus biar ngincar bonus.

"Nggak baik aja hati kamu sering gagal fokus, Num. Apa kabar kalau dia bersikap manis!" Tau nggak, sih, gimana rasanya diejek sama hati sendiri? Sakit, pakai banget. Aku juga heran, kenapa hatiku julid banget ya, ke diri sendiri. Info tempat tukar hati, dong!

"Jangan panggil aku, Non, Kak! Aku nggak suka panggilan itu." Baiklah, ketika adik majikan protes, di situlah kamu harus memperbaiki keadaan.

"Ah, maaf, Non. Maksud saya, harus panggil apa?" Suara dilembutkan, dan pasang senyum manis. Enggak kakak, enggak adek, sama aja. Tukang protes!

"Panggil bidadari aja!"

Mataku membulat. "Buset nih bocah! Kakaknya nyuruh manggil Tuan, adiknya ternyata lebih parah."

Tawa Ega tiba-tiba terdengar. "Ya Allah, kak, mukanya! Aku bercanda!" ujarnya kemudian.

"Oh ya, kak! Yang di depan pintu tadi, aku serius, loh! Aku pernah liat wajah Kakak. Dan sekarang, aku ingat lihatnya di mana."

Wajah gadis itu menatapku dengan pandangan seolah mengatakan, "Sekarang aku tahu rahasiamu."




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuanku RakaswaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang