Tiga: Butuh Pintu Doraemon

122 16 4
                                    

Quotes hari ini:
"Ketika bertemu mantan yang paling dihindari, sepertinya pintu Doraemon pun akan kehilangan fungsi untuk membawamu pergi."
(Hanum, kenalannya Doraemon)

***

Sekali lagi, aku memastikan alamat yang tertera pada secarik kertas yang kupegang. Mencocokkannya dengan nomor rumah yang ada di pagar tinggi di depanku ini. Pagar itu terbuka. Jadi, aku jelas bisa masuk dengan mudah ke dalam sana.

Baru saja melangkah, sebuah mobil yang berasal dari arah belakangku membunyikan klakson, membuatku reflek menepi. Mobil itu tak langsung masuk ke dalam, malah berhenti tepat di sampingku.

Kaca di kursi penumpang bagian belakang terbuka, menampakkan wajah paruh baya yang dua hari sebelumnya sudah bertemu denganku.

"Hanum!" panggil wanita itu. Dia memberikan senyum ramahnya seperti di restoran waktu itu, dan tentu saja kubalas dengan senyum yang tak kalah ramah.

"Iya, Bu."

"Kamu ternyata berkunjungnya sudah hari ini, ya. Kebetulan." Tak kusangka, Bu Lastri malah membuka pintu mobilnya dan turun mendekatiku. Dia mengisyaratkan pada sopirnya untuk langsung masuk, meninggalkan kami berdua yang masih berdiri di depan gerbang.

"Iya, Bu. Kemarin, saya sudah resmi mengundurkan diri dari tempat kerja sebelumnya. Makanya hari ini sudah bisa datang ke sini," ujarku menjelaskan.

"Ah, kenapa nggak istirahat dulu, sehari atau dua hari. Biar kamu nggak terlalu capek." Aku bisa menilai wanita ini, dia baik dan penuh perhatian. Bahkan untuk ukuran aku yang akan dijadikan pembantu di keluarganya.

"Tidak apa, Bu. Lagian, kalau berdiam diri di kosan selama dua hari juga pasti aku bakal merasa bosan."

Dia mengangguk. "Oh ya, aduh! Saya jadi lupa kalau kita masih di gerbang. Ayo, masuk ke dalam! Anak saya pasti juga ada di dalam, karena katanya dia nggak masuk kerja hari ini." Bu Lastri meringis tak enak, yang hanya kubalas dengan senyuman saja.

"Elgan tadi baru pulang dari meeting di luar kota. Pulangnya baru tadi subuh, makanya milih nggak ke kantor. Soalnya capek, nempuh perjalanan semalaman. Ini saja, dia pasti sedang tidur." Aku hanya mengangguk menanggapi cerita Bu Lastri tentang anaknya yang terdengar sangat antusias itu.

"Itu juga sebabnya saya nyari orang untuk kerja di sini. Elgan itu sering kerja dan pulang larut malam. Karena sudah capek seharian di kantor, dia malah sering melewatkan makan malam. Dan paginya buru-buru berangkat tanpa sarapan." Wanita itu kemudian menghela napas kasar.  "Jangankan rumah, perutnya saja nggak bisa dia urus," keluhnya lagi.

Sesaat kemudian, langkah kami terhenti di depan pintu yang tertutup rapat. Bu Lastri mengeluarkan kunci dari dalam tas, dan membuka pintu tersebut. Aku menebak, kalau wanita paruh baya itu punya duplikat kunci rumah anaknya.

"Kita duduk dulu, sambil ngobrol. Setelah itu, nanti saya jelaskan tugas kamu ngapain aja di sini." Bu Lastri mengajakku untuk duduk di sofa. Aku mengikuti langkahnya dengan canggung. Wanita ini terlalu ramah, menurutku.

"Elgan itu umurnya sudah dua lima, beberapa bulan lagi dua enam. Sudah berkali-kali saya suruh menikah karena hidupnya yang tidak teratur seperti itu, tapi itu anak malah nggak nanggapin. Benar-benar bikin kesal." Oke, berarti umur Majikanku ini hanya selisih dua tahun denganku. Satu lagi, selain jadi pembantu, sudah dipastikan aku akan dijadikan teman rumpi Bu Lastri. Lihat saja sekarang, wanita itu malah curhat tentang anaknya dengan gamblang.

"Elgan itu gimana, ya. Dia memang ramah ke semua orang, sampai-sampai beberapa anak rekan bisnisnya dan rekan bisnis suami saya salah paham. Tapi pas kami bertanya pendapatnya tentang gadis-gadis itu, dia malah bilang kalau nggak tertarik dengan mereka." Like mother, like son. Begitu, bukan? Apa Bu Lastri tak sadar, mungkin saja sikap ramah anaknya itu menurun dari dia. Wanita itu kini malah sibuk membicarakan perihal asmara anaknya.

"Oh ya, satu lagi. Anak saya itu nggak ribet, kok. Jadi, kamu bisa tenang selama bekerja di sini. Dia nggak banyak maunya, saya bisa pastikan kalau kamu bakalan nyaman. Soalnya dengan ART di rumah saya, dia juga gitu."

Syukurlah, kalau sifatnya seperti itu. Aku terlalu sering menyaksikan drama antara majikan dan pembantu yang begitu ribet di film-film. Terlebih, dengan pengalamanku memiliki bos ribet bin galak selama enam bulan di tempat kerja sebelumnya. Jadi, punya majikan seperti sifat yang dibeberkan Bu Lastri tadi kurasa akan menyenangkan. Gaji aman, hidup tentram.

"Mama?!" Panggilan bernada terkejut itu membuatku dan Bu Lastri yang tengah asik bercengkrama terhenti.

Bu Lastri yang tadinya mengatakan ingin mengajakku berbicara santai sebentar, sebelum menjelaskan apa-apa saja yang harus kukerjakan, nyatanya malah keasikan sendiri. Aku sebenarnya sejak tadi gelisah dan sedikit merasa tak enak. Pasalnya, di sini aku seharusnya bekerja, bukan mengobrol. Tapi mau bagaimana lagi, yang ngajak bicara, kan, Nyonya rumah. Mana berani menginterupsinya.

Bu Lastri yang tengah menghadap ke arahku, beralih menatap anaknya. Sementara aku hanya tertunduk, merasa gugup karena harus bertemu bos baru.

"Ini, Mama sebenarnya ke sini mau lihat kamu. Tapi tadi malah udah ketemu sama Hanum, dia yang akan mengurus semua keperluan kamu mulai sekarang, seperti yang Mama bilang ke kamu sebelum ini."

"Oh, begitu." Suara pria itu terdengar berat, tipe-tipe suara yang asik diajak berlama-lama mengobrol di telepon. Astaga, apa yang sebenarnya aku pikirkan. Gara-gara gugup, pikiranku malah ke mana-mana. Lagipula, mungkin statusku yang sudah terlalu lama menyendiri ini juga yang mendorongku seperti ini. Bertingkah seperti wanita kurang belaian. Membayangkan majikan diajak teleponan? Pemikiran macam apa, itu?

"Sini, kenalan dulu." Bu Lastri berdiri dan mendekat ke arah anaknya, sehingga mau tak mau aku menatap ke arah mereka. Dan saat melihat wajah anak Bu Lastri alias calon majikan baruku itu, rasanya dunia seolah berhenti berputar. Tubuhku membeku dengan tatapan yang tak bisa teralih dari wajah tegas itu. Begitupun dia, matanya menyiratkan rasa terkejut sesaat, sebelum kembali seperti biasa.

Tidak, dia tidak terkejut. Aku pasti salah melihat. Aku menepis dugaan tadi. Semoga saja dia tak mengenaliku. Kalau iya, mau taruh di mana mukaku ini?

"Oh Bumi, bisakah aku tenggelam sekarang juga?" Aku menggeleng pelan setelahnya. Enggak, aku masih banyak dosa, kalau ditenggelamkan sekarang, bisa-bisa aku meninggoy dong terus masuk neraka.

Kalau begitu ganti saja, "Oh Doraemon, bisakah kau pinjamkan pintu ajaibmu?" Kembali aku merapalkan kalimat penuh harap, siapa tahu saja Doraemon benar-benar datang membantuku.

Sungguh, aku kebingungan harus bersikap bagaimana. Dari sekian banyak manusia di dunia, kenapa harus dia yang menjadi bosku? Kenapa harus dia anak Bu Lastri?

Oke, salahkan aku saja. Kenapa aku harus tergiur hingga menerima pekerjaan ini? Gimana nasibku setelah ini? Membayangkan akan dikerjai habis-habisan oleh majikanku sendiri, sungguh membuatku pusing.

Tuanku RakaswaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang