Quotes hari ini:
"Dulu, tangan itu yang menghapus air mataku. Namun, sekarang tangan itulah yang membuat air mataku terjatuh."
(Hanum, anak gadis yang menjalani ketidak adilan)Tubuhku rasanya begitu lelah, padahal pekerjaan di rumah Tuan Raka masih tergolong ringan. Mungkin karena setelahnya aku malah menempuh jarak yang cukup jauh untuk pulang ke kosan.
Ponsel milikku yang tengah berdering, mau tak mau membuatku bangkit dari posisi berbaring di kasur tipis, yang selalu menjadi tempat istirahatku enam bulan belakangan ini. Padahal mataku sangat mengantuk. Namun, tetap kupaksa untuk mengecek siapa yang menelpon, siapa tahu saja penting.
"Mama?" Keningku mengerut. Setelah sekian lama, akhirnya nama kontak itu kembali menghubungiku.
Tanpa menunggu waktu lama, aku segera menerima panggilan tersebut. Takutnya ada hal yang darurat. Pasalnya, sudah enam bulan terakhir keluargaku tak ada yang menghubungi, yang artinya ini kali pertama.
"Halo, Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalaam." Suara itu begitu pelan menjawab salam. Aku semakin gelisah. Ada apa sebenarnya?
"Kenapa, Ma?" tanyaku yang hanya dijawab dengan keheningan.
"Ma?" ulangku lagi. Kudengar suara embusan napas berat di seberang sana.
"Enggak ada apa-apa. Mama cuma mau tanya kabar Mbak. Mbak baik-baik aja, kan?"
Aku menghela napas lega. Syukurlah!
"Mbak baik, kok. Kabar Mama gimana?" balasku.
"Mama kurang baik. Mama rindu sama Mbak." Suaranya terbata, dan aku yakin kalau Mama kini tengah menahan tangis.
"Aku juga rindu Mama."
Hening kembali melanda. Tak berapa lama, kudengar isakan dari seberang sana. Mama kini tengah menangis.
"Ma, aduh, jangan nangis, dong! Kan, kalau mama rindu, tinggal telfon Mbak. Iya, kan? Atau nanti Mbak telfon Mama setiap hari, asal Mama jangan nangis!" Sejujurnya, aku pun rasanya ingin menangis.
"Kapan kamu pulang, Mbak?" Pertanyaan dari Mama membuatku terdiam. Pulang ya? Bahkan, sampai detik ini aku belum memikirkannya.
"Mbak nggak tahu, Ma. Tapi Mbak janji, bakal selalu nelfonin Mama nanti," ujarku berusaha menenangkannya.
"Ini sudah tujuh bulan. Apa kamu masih marah, Mbak?"
"Enggak kok Ma. Mbak cuma sudah nyaman aja di tempat ini. Lagian, dengan begini, kan, Mbak juga bisa belajar mandiri seperti yang Mbak bilang ke Papa sama Mama waktu itu." Aku berusaha memberi alasan. Kalau ditanya aku masih marah atau tidak, jawabannya sudah tidak. Tapi tetap saja, rasa sakit akan kejadian tujuh bulan lalu masih ada.
"Maafin Papa kamu juga ya. Dia pasti merasa bersalah juga, ke Mbak. Hanya saja egonya terlalu tinggi. Perlahan, pasti Papa bakal sadar."
Aku memejamkan mata, berusaha menghalau air mata yang akan menetes saat mengingat masalahku dengan papa waktu itu, masalah yang juga membuatku nekat memutuskan untuk keluar dari rumah.
"Iya, Ma. Mbak udah maafin kok. Cuma, untuk balik ke sana, Mbak, belum bisa." Lagipula, hubunganku dengan papa masih belum membaik.
"Oh ya, kata Hani, Mbak udah nggak kerja di tempatnya, ya?" Aku mendengus. Mbak Hani ternyata selama ini selalu melapor pada Mama.
"Iya, Ma. Kebetulan aku dapat kerjaan yang gajinya lumayan. Selain itu, biar belajar mandirinya makin kerasa. Kerjaan kemarin, kan, minta tolong ke Mbak Hani yang nggak lain sepupu aku. Kalau sekarang kerja sama orang, jadi lebih berasa aja mandirinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuanku Rakaswara
ChickLitPernah merasakan malu sampai ingin nenggelamin diri atau menghilang seketika? Itulah yang aku rasakan saat ini. Saat di mana bertemu orang yang berstatus majikanku sejak lima menit yang lalu. Bagaimana tidak? Dia adalah mantan pertamaku saat kelas s...