Siang ini cerah.
Tidak terlalu terik, cuaca cukup bersahabat untuk melakukan aktivitas. Biasanya burung-burung berkicau hanya di pagi hari pada musim semi yang indah di pedesaan yang asri ini, tapi sebagian mereka masih melakukannya hingga saat ini. Burung-burung pipit yang hinggap di dahan sebuah pohon apel besar, tapi tidak ada sarang burung di sana. Mereka pasti hanya singgah untuk sementara, karena memiliki rumah di pohon lain yang entah di mana.Pohon kokoh setinggi lima meter itu berdiri dengan gagah dan bangga di sebuah halaman rumah. Dua utas tambang kuat dan tebal sudah mengikat salah satu dahan pohon itu selama tiga tahun, menjadi penyangga untuk sebuah ayunan kayu sederhana yang kini tengah dinaiki seorang bocah laki-laki berusia lima tahun. Belum cukup umur untuk menjadi murid taman kanak-kanak, sehingga ia masih memiliki banyak waktu untuk bermain dan bersenang-senang, sebelum nanti ia akan lebih sibuk karena harus masuk sekolah.
Anak itu tersenyum riang seiring dengan benda itu yang mengayun ke depan, ke belakang, membawa tubuhnya bagai dibawa angin, angin yang menerpa tubuhnya saat berayun. Ia begitu gembira karena tidak pernah menaiki ayunan sebelumnya, tidak pernah melihatnya juga. Dan ternyata semenyenangkan ini rasanya.
Namanya Song Mingi. Seperti anak sebayanya pada umumnya, ia hanyalah bocah yang tidak memiliki beban hidup. Jadi ia hanya menikmati salah satu masa dalam hidupnya dimana ia senang menaiki ayunan yang baru pertama kali ia naiki.
Sampai tiba-tiba ia terjatuh saat mengayun ke depan, agak jauh dari ayunan, terjerembap hingga lutut dan wajahnya bergesekan dengan tanah, menggoresnya dengan ngilu. Tidak terlihat seperti tanah sebetulnya, semua permukannya tertutupi rumput hijau muda yang lembut. Dan itu semua alami, bukan sintetis seperti di kota-kota besar. Tapi tetap saja. Kejadian itu berhasil melukai kulit anak-anak rapuhnya.
Ia tidak terjatuh dengan sendirinya. Seseorang baru saja mendorongnya dengan kasar secara disengaja. Ia bisa merasakan dua tangan kecil di punggungnya tadi menghempasnya jauh.
Saat berusaha bangun sambil mengaduh kesakitan, Mingi berbalik. Melihat bocah laki-laki lain seusianya menatapnya geram dengan kedua tangan yang terkepal.
“Apa yang kau lakukan di ayunan milikku? Siapa kau? Aku tidak mengenalmu, dan tidak pernah melihatmu sebelumnya. Beraninya bermain ayunanku tanpa izin.”
Namanya Jung Yunho. Seperti yang ia katakan barusan, bahwa itu adalah ayunannya. Ia menegaskan bahwa itu miliknya. Lebih tepatnya, ayunan yang dibuatkan ayahnya di halaman depan rumah.
Mingi bisa melihat wajah Yunho penuh amarah, membuatnya ketakutan. Ia bahkan sampai melupakan rasa sakit pada pipi dan lututnya yang lecet dan berdarah. Sekasar itu dorongan Yunho.
“Aku minta maaf, aku tidak tahu kalau itu adalah ayunanmu.”
“Cepat pergi dari sini.”
Mingi tercekat.
Ia baru saja bersenang-senang sebentar, tidak pernah membayangkan akan seperti ini kelanjutan kisahnya hari ini. Langit masih cerah, tapi tidak selaras dengan apa yang ia alami barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Daisy 🌼 YunGi [⏸]
FanfictionA yungi soft story dedicated to my beloved @SummerRainboww 🌼🌼🌼 Fall Daisy; bunga daisy di musim gugur ©2022, ichinisan1-3