'Tapi, bisa sebodoh apa diriku? Dan sampai sejauh mana aku mau membodohi diri?'
Aku yang sedang ditatapi Ken tetap berdiri di tempat yang sama, kakiku seperti terpaku dengan lantai yang sepatuku pijaki.
Tatapan Ken yang menunduk untuk melihatku membuat jemariku meremas kaos Rexy. Kaos dari pria yang meninggalkan beberapa tanda di tubuhku meski samar tapi terasa nyata, senyata kulitku yang merasa tak biasa.
Sementara Ken masih tak mengeluarkan suaranya sama sekali.
"Ken, aku- ... aku adalah orang yang sudah membohongi diriku ... membohongi diri bahwa apa yang kutahu bukan apa-apa, tidak berarti apa-apa, tidak akan berpengaruh apa-apa."
Aku bisa merasakan suaraku sedikit bergetar bahkan bagi telingaku sendiri.
"Saat aku tahu kamu dan Anggita berselingkuh, aku hanya terus bersikap seolah aku tidak mengatahui apa pun, tidak melihat apa pun, juga tidak mengatakan apa pun."
"Tanpa menyadari apa yang kupilih untuk kuyakini, menggerogotiku perlahan tapi pasti."
Aku menarik nafasku dalam, berusaha menghilangkan perasaan sesak yang kuhafal.
"Dan saat aku sudah tidak bisa lagi membohongi diri untuk hal yang begitu jelas kulihat, aku kehilangan jati diriku, Ken," ucapku menatap Ken yang tetap berdiri tanpa kata, "saat sadar, aku bahkan tak lagi bisa merasakan kehangatanmu sama sekali."
Aku bisa melihat manik hitam Ken membesar, sementara wajahnya yang bisa begitu dingin, tetap tidak terbaca.
"Rasanya ... rasanya begitu menyesakkan sampai aku tak bisa bernafas. Aku bahkan tak lagi bisa membedakan mana cintaku mana toleransi ku untuk kamu."
"Aku selalu bisa menemukan pembenaran untuk apa yang kamu lakukan dan berusaha keras mencari salah pada diriku sendiri."
"Kupikir dengan membohingi diriku setiap kali kamu menginap di rumah ibu, hubungan kita akan baik-baik saja. Aku dan kamu akan bisa menjalani hari bersama. Karena apa yang ada di antara kamu dan Anggita hanya ujian untuk pernikahan kita, Ken."
Greet!
Aku meremas kaos Rexy yang masih kupegangi. Buku-buku jariku pasti memutih. Sementara mataku yang menatap Ken bisa melihat Anggita yang duduk menungguku di dalam cafe. Wanita sama yang mengirimiku Vidio dengan ucapan maaf.
Vidio yang tak mampu kulihat tapi aku begitu tahu apa isinya. Hal yang membuatku tak ingin memiliki ponsel, benda sejuta umat yang bisa mempermudah hidup.
Di dalam manik hitam Ken, aku bahkan bisa melihat telunjuk lentik Anggita yang terawat memutari pinggiran gelas berisi minuman. Minuman yang akhirnya jatuh bersama kesadaranku yang menghilang setelah Anggita pergi dengan meninggalkan selembar uang seratus ribu.
Tapi, tidak hanya selembar uang saja yang Anggita tinggalkan hari itu. Ucapan Anggita meninggalkan lubang begitu dalam di hatiku. Hati yang tidak lagi mampu berpikir pernikahanku dan Ken baik-baik saja.
Lubang menganga yang nyatanya tidak pernah tertutup. Bahkan, setelah aku pergi meninggalkan segala yang menghianatiku.
Mengingat hari yang menyadarkan siapa diriku bagi suamiku, bagi pernikahan kami ... 'tenggorokanku serasa tercekat sementara dadaku begitu sesak'.
Saliva yang kutelan bahkan tidak mampu membasahi kerongkonganku yang rasanya begitu kering.
"Tapi, apa yang kuyakini ternyata tidak benar," ucapku yang lidahnya terasa kelu lalu menunduk menatapi lantai yang memantulkan bayangan kami, bayanganku dan bayangan Ken.