'Apa yang sudah kulakukan?'
Sungguh pertanyaan bodoh saat aku bisa merasakan sehangat apa kulit Rexy yang menempel pada tubuhku.
Detak jantungnya pun terasa begitu tenang di punggungku, tangannya melingkar begitu nyaman di tubuhku, lalu di sana ... aku masih bisa merasakan sesuatu meski lelaki yang menyentuhku dengan penuh rasa ini sudah berbaring di belakangku.
"Apa kamu menyesal?"
Di bawah selimut hangat yang bed covernya berantakan, aku berbaring dengan lelaki yang juga tak mengenakan sehelai benang pun!
Mataku bisa melihat sisa pakaianku dan baju Rexy yang basah teronggok di atas lantai bisu yang melihat kami. Sementara dinding yang mendengar seolah jadi buta.
'Apa aku menyesal?'
Daripada terkejut dengan tanya Rexy, aku lebih kaget dengan apa yang sedang kurasakan. Detak jantungku tidak lagi bertalu-talu sampai membuatku sakit, otakku yang begitu penuh dengan banyak kata tak lagi bersuara.
'Bagaimana dengan hatiku? Perasaanku?'
Aku merasa begitu tenang, seolah tak ada riak yang bisa membuatku berkata, 'hal tak bermoral yang baru saja kulakukan harus kutangisi.'
Sungguh, aku merasa ini aneh karena aku tidak menyesali hal salah yang sudah kulakukan bersama Rexy.
'Apa moralku begitu jatuh sekarang?'
'Apa norma yang selalu kujaga tak lagi kuagungkan?'
Tapi, bagaimana dengan Rexy? Apa ia tak menyesal karena aku memanfaatkannya untuk melupakan kesesakkan yang jadi tak berarti saat aku terbaring dengan tubuh lelaki yang bukan suamiku.
Suamiku ... 'Ken.'
Aku memejamkan mata, mengingat lelaki yang ingin istrinya kembali.
Tapi, apa aku masih bisa kembali setelah ini? saat seluruh rasaku berkata hal itu salah untuk kulakukan dan sekarang aku berbaring dengan lelaki lain yang menyentuhku dengan seluruh dirinya.
'Kembali ..., itu hal yang tidak mungkin kulakukan lagi, bukan?'
"Tuan, apa anda tidak menyesal?"
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"
"Karena saya memanfaatkan anda, Tuan," ucapku meremas jemariku sendiri yang tersembunyi di bawah selimut, "tidak seharusnya saya meminta anda menghibur saya yang sedang ...,"
Aku menarik nafasku dalam, tapi debaran jantungku tak berubah, begitu normal dan seluruh diriku merasa tenang.
Bahkan saat aku mengingat lelaki paruh baya yang meninggalkanku dengan satu koper uang. Koper yang kutinggalkan begitu saja saat masuk ke dalam mobil Rexy.
"Seburuk apapun rasa yang sedang saya rasakan, tidak seharusnya saya meminta anda untuk menghibur saya dengan-"
"Jadi kamu menyesal?" Potong Rexy untuk kalimatku.
Aku menggeleng, kurasa lelaki yang memeluk punggungku ini bisa melihat itu, juga merasakan debaran jantungku yang tidak cepat.
Ia menunggu, lelaki irit kata ini terus menungguku berucap dengan tangan yang masih melingkar di tubuhku di bawah selimut hangat yang menutupi tubuh kami.
"Rasanya ... rasanya begitu aneh, Tuan, karena saya sama sekali tidak menyesali apa yang sudah saya lakukan."
"Atau penyesalanmu belum datang."
'Penyesalanku belum datang?'
Aku jadi diam, menyadari detak jantung Rexy yang jadi terasa lebih keras.