"Istirahatlah kalian berdua, dan jangan telat besok."
"Yes, Ma'am," jawab Sidney menutup pintu mobil nyonya Li.
"Terimakasih banyak, Nyonya," ucapku pada wanita tua yang menoleh.
"It's not a big deal, Mira, dan beristirahatlah."
"Saya harus bekerja, Nyonya."
"Apa kakimu tak apa?"
"Tidak apa, Nyonya."
"Well, lakukan yang kau mau, tapi jangan memaksakan diri, ok?"
Aku mengangguk lalu turun dan membalas lambaian wanita tua yang membuka jendela, "sampaikan salam ku untuk Rose."
"Tentu, Bi, dan hati-hatilah membawa mobilmu dan jadilah supir yang beradab," canda Sidney merangkul pundakku dan melambai pada sang bibi yang melajukan mobil.
"Ayo, kita masuk, aku sudah kedinginan."
Kami masuk ke dalam rumah setelah mobil nyonya Li tak terlihat. Rasa hangat langsung terasa berkat perapian yang menyala, Rose yang sedang merajut menatapi kami berdua dengan kening berkerut.
"Kami habis jalan-jalan," ucap Sidney membuat Rose menatapku.
"Dengan baju tipis?"
"Yeah, udara segar nan dingin kadang baik untuk badan."
"Nonsense, mendekatlah biar badan kalian hangat."
"Aku mau mandi dulu, Rose, bajuku basah," ucapku pada wanita tua yang meletakkan rajutannya sambil menatapiku, sementara Sidney langsung mendekat dengan tangan terjulur pada perapian.
"Ya, kau memang harus segera mengganti bajumu, Young women." Ucap Rose memberi izin, "Mira, kau ingin makan sup kacang?"
Aku yang ingat belum makan apapun kecuali bubur dari Rexy, mengangguk, "nanti aku panaskan sendiri, Rose. Terimakasih."
Ia mengangguk lalu menatap Sidney, "kalian jalan-jalan di mana sebenarnya?"
"Oh, itu ... hanya jalan-jalan saja. Tapi, aku yang harus bertanya kau dari mana, Rose? aku menelpon ke rumah dan tak ada yang menjawab."
"You do? Apa ada hal penting sampai kau menelponku?"
Aku yang sudah menaiki anak tangga menoleh pada punggung Sidney.
"Tidak terlalu, aku hanya ingin tahu apa Mira mau ku bawakan makanan atau tidak?"
"Sejak kapan kau jadi perhatian, Kid?"
"Tch, asal kau tahu saja, Old women, aku juga bisa berbuat baik sesekali," ucap Sidney dengan tawa yang mengiringi langkahku di tangga yang berderit.
Begitu sampai kamar, aku langsung membuka bajuku yang hanya selembar, sementara pakaian dalam yang kukenakan hanya celana dalam.
Mungkin jika buka dokter, lelaki yang mengobati betisku akan berkomentar tentang penampilanku.
Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri. Namun, air hangat yang mengguyur badan tak mampu membuatku mengalihkan pikiran dari bekas luka di leher Banyu yang pasti tak akan terlihat jika ia memakai baju dengan kerah yang cukup tinggi.
Meskipun begitu, aku memilih menutup rapat mulutku walaupun seluruh diriku bertanya,
'benda panas macam apa yang membuat kulit Banyu memiliki bekas melepuh seperti itu?'Aku mengusap wajah basahku yang terus dialiri air shower. Tidak ingin berpikir buruk seperti apapun, benakku terus saja berpikir.
Meski mulutku rapat tertutup seluruh diriku bertanya siapa yang melukai bocah dengan pipi gembil menyembul yang rona wajahnya kembali.