"kan gue udah bilang, el. kalo suka sewajarnya aja, jangan berlebihan." apa yang dikatakan jeyan memang benar, sangat benar.
harusnya rael tidak mengambil kesimpulan begitu cepat, harusnya ia bisa mengontrol perasaannya agar tidak terbawa suasana, harusnya ia sadar perlakuan bara adalah hal yang wajar dilakukan oleh siapapun.
terlepas dari rasa bahagianya ketika mendapatkan momen dengan pemuda yang telah ia amati begitu lama.
rael mengatur napasnya yang sesenggukan. tak disangka kali ini ia menangis karena dadanya terasa sangat sesak. bukan karena pemandangan yang ia lihat tadi, lebih ke rasa kecewa terhadap dirinya sendiri karena membuat ekspektasi yang terlalu tinggi
jeyan menyodorkan tisu untuk kesekian kalinya, menatap iba gadis di depannya yang terlihat sangat kacau. rambut acak-acakan, mata sembab, wajah yang memerah, dan air mata yang masih mengalir meskipun napasnya sudah mulai teratur.
tidak pernah ia melihat rael sekacau ini sebelumnya. biasanya gadis itu hanya akan memoles senyum getir dan menyemangati dirinya sendiri dengan kalimat "yaudah, mau gimana lagi. bukan hak gue ngatur hidup dia."
pemuda itu menepuk penggung sang gadis pelan guna menenangkan. ia juga tidak bisa berbuat banyak, toh dia dan rael juga sebatas teman dekat.
"engga gitu, gue marah sama gue sendiri. bisa-bisanya langsung kasih kesimpulan gitu aja. bahkan dengan bangganya gue ceritain ke lo. apa yang bisa dibanggain? gue benci sikap gue yang kepedean. gue malu, yan." ujar rael memelan di ujung kalimat, menahan tangisnya agar tidak kembali pecah.
jeyan hanya terus menepuk punggung rael tanpa berucap satu kata pun. ia paham betul rael hanya perlu mengeluarkan isi hatinya saat ini. ia baru akan mengutarakan kalimatnya setelah rael benar-benar tenang.
"gue cape dada gue sesek tiap liat bara sama yang lain, gue cape nyemangatin diri gue sendiri, gue cape yan. tapi gue gatau gimana cara keluar dari tempat yang gue bikin sendiri." lanjut rael yang gagal mempertahankan bentengnya, air matanya kembali turun. rael mengusap wajahnya kasar, merasa sangat malu terhadap perasaan sepihaknya.
setelah dirasa rael cukup tenang, barulah jeyan bersuara, "lo tau ngga? gue pernah ada di posisi lo cukup lama."
rael menoleh ke arah jeyan dengan tatapan bertanya. karena selama ia berkawan dengan jeyan sejak di bangku sekolah, pemuda itu sama sekali tidak pernah patah hati, malah bisa dibilang jeyan yang mematahkan hati banyak wanita.
"mau gue ceritain ngga? kayanya lo ga percaya banget gue pernah patah hati." tanya jeyan dengan terkikik melihat reaksi sahabatnya yang kini menunjukkan gelagat antusias terhadap kisahnya.
"gue belum pernah cerita sih sama lo. dulu waktu sma gue pernah suka banget sama satu orang. dia sembrono anaknya, grasak-grusuk. tapi dia lucu, gue suka."
rael memfokuskan atensi sepenuhnya kepada jeyan. ia benar-benar terlarut ke dalam cerita sang pemuda.
"keseharian gue juga kurang lebih sama. waktu di kelas, isi pikiran gue cuma pengen cepet-cepet istirahat biar bisa ketemu. pokoknya sebisa mungkin tiap hari gue ketemu sama dia. sehari aja ga ketemu, wah mood gue bisa awut-awutan." keduanya tertawa geli, sama-sama tidak menyangka jeyan juga pernah berlaku layaknya remaja kasmaran pada umumnya.
"di otak gue sempat kepikiran gimana caranya dia bisa jadi cewe gue, gimana caranya biar dia bisa sadar akan keberadaan dan perasaan gue, pokoknya bisa dibilang obsesi gue ke dia cukup besar lah.",
"tapi setelah tau dia punya rasa sama orang lain, gue perlahan sadar, gue gabisa paksain perasaan orang itu ke gue. gue juga gabisa bohong sama diri gue sendiri kalo gue gabisa nerima hal itu dengan mudah. tapi di sisi lain kalo gue terusin, gue bisa ngebuat hubungan kita jadi ga nyaman. akhirnya gue mutusin untuk berhenti sebelum terlanjur."
"dan gue yakin, kalo dia bahagia dengan pilihannya, gue juga bakal ikut seneng." final jeyan dengan senyum manis di akhir kalimat.
rael termenung setelah jeyan menyelesaikan ceritanya. benar juga, kalau saja dia bisa berteman dengan bara tanpa membawa perasaan, pasti akan menjadi lebih nyaman bagi keduanya.
setelah termenung cukup lama, rael mengarahkan tubuhnya menghadap jeyan, "kalo gue minta bantuan lo buat hilangin perasaan gue ke bara, lo mau bantu ngga?"
kali ini jeyan yang terkejut atas pertanyaan rael yang tiba-tiba. tapi bukan jeyan namanya kalau tidak tetap tenang, "kalo itu pilihan lo, dengan senang hati gue bantu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
a.n. oh tentu saja tidak semudah itu hilangin perasaan walaupun kemauan sudah sangat besarr. benar tidak pejuang one-sided love??