BAB III

10 1 0
                                    

Matahari telah memancarkan sinarnya yang artinya ini saatnya Arlene beserta rakyat Arandelle yang tersisa pergi. Arlene yang sudah membuka matanya segera membangungkan Thania beserta yang lainnya untuk bersiap. Waktu yang dimilikinya tidak banyak, hanya saat matahari bersinar terang maka bangsa Orc tidak akan berbuat macam-macam. Tubuh mereka lemah terhadap sinar matahari yang menyengat.

"Semuanya dengarkan," ucap Arlene membuat rakyatnya terkesiap "Kalian tahu kita sedang berlomba dengan waktu, apapun yang terjadi kita harus tetap bersama ke dermaga sampai menuju negeri selatan, tempat tujuan kita."

Melihat yang lainnya sudah bersiap, Arlene mencoba membangunkan Thania yang sedang kalut dengan pikirannya. Adiknya itu tidak bisa tidur semalaman. Ia tahu bahwa Thania belum bisa menerima kenyataan bahwa orang tuanya meninggal begitu cepat bertepatan sehari setelah ulang tahunnya ke-17 tahun dirayakan.

"Ayo Thania, kita harus segera pergi," ucap Arlene mengingatkan.

"Bolehkan aku tak ikut pergi? Aku ingin tetap disini bersama ibu dan ayah." Thania menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca.

Arlene menggeleng tidak setuju.

"Kau harus ikut aku! Ini perintah ibu Ratu" tegas Arlene tidak mau mendengar omong kosong adiknya itu.

Arlene menggenggam tangan Thania agar tetap bersamanya. Ia tak mau jika adiknya berbuat nekat yang akan membahayakan dirinya sendiri. Rakyat Arendelle yag tersisapun secara perlahan berjalan keluar lorong bawah tanah. Melihat situasi aman, maka perasaan lega menyelimuti. Semuanya berjalan menuju dermaga yang letaknya tidak begitu jauh. Sesampainya di dermaga ada beberapa jumlah kapal dan sampan yang tersedia. Arlene tidak tahu cara mengendarai keduanya.

"Apakah diantara kalian ada yang pernah mengendari kapal?" Tanya Arlene penuh harap. Rakyatnya tersebut saling tatap satu sama lain.

"Aku pernah mengikuti pelatihan menjadi awak kapal, lady, jadi aku sedikit tahu," ucap seorang pemuda yang mengangkat tangannya.

Arlene bernafas lega mendengarnya.

"Baik. Yang lainnya tolong bantu aku mencari kapal yang menyediakan persediaan serta peta di dalamnya. Kita butuh kedua hal penting itu."

Rakyat yang mendengarnya langsung bergegas mengecek kapal satu persatu yang ada di dermaga.

"Di sini lady!" teriak salah seorang.

Karena sudah ditemukan kapal yang akan menjadi kendaraan utama mereka, maka semuanya segera bergegas menaiki kapal yang tidak besar namun juga tidak kecil itu. Melihat persediaan makanan dan bahan bakar, Arlene berharap hal itu cukup untuk mereka sampai menuju selatan.

Arlene menatap raut wajah diantara rakyat Arandelle yang tersisa. Beberapa diantara mereka ada pemuda pemudi dan adapula orangtua yang membawa bayi. Arlene melihatnyapun meringis dalam hati, begitu sesak mengetahui nasib kerajaan Arandelle jatuh ke tangan Orc sampai merenggut nyawa kakak dan kedua orang tua tercintanya. Mangusap air mata yang membasahi pipinya, Arlene segera memeluk Thania agar tak berjauhan.

"Semua akan baik-bak saja."

Tidak ada yang tahu keadaan akan kembali normal sampai kapan, atau bahkan tidak akan pernah?

###

"Louis!" orang yang dipanggil namanya itu tidak menyahut.

"Prince Louis!!" Teriaknya lebih kencang. Syukurlah si empunya nama melihatnya dan berhenti dari kegiatan latihan pedangnya sejenak.

Merasa terpanggil oleh suara wanita yang sudah dikenalinya, Louis menengok ke arah sumber suara. Mirabeth, wanita yang setahun terakhir sudah menjadi teman kencannya—tentunya secara diam-diam. Mirabeth bukan wanita bangsawan atau putri pedagang kaya raya. Meskipun begitu Louis mencintainya dengan sepenuh hati. Loius mendekat ke tempat Mirabeth berada. Bersyukur tempatnya tidak terlalu ramai dan Mirabeth juga menggunaan syal untuk menutupi wajahnya agar tidak dikenali.

"Sesuai janjiku, aku membawakan sesuatu untukmu, prince Louis," ucap Mirabeth menampilkan senyum manis sembari mengulurkan kotak makan untuk seseorang di depannya.

Louis yang melihatnyapun terpesona. Mirabeth dengan semua sikap perhatiannya membuat Louis semakin cinta.

"Terimakasih. Aku akan mengunjungimu nanti." Louis berkata seraya mengusap puncak kepala Mirabeth dengan lembut.

Setelah melihat kepergian Mirabeth dengan senyum diwajahnya yang mengembang, Louis kembali melanjutkan latihan pedangnya yang tertunda.

"Ayolah man, mau sampai kapan kau berkencan secara sembunyi begini," ucap Antoni, teman Louis yang sudah mengetahui hubungan Louis dengan rakyat biasa.

Louis adalah putra mahkota dari kerajaan Clementary, kerajaan yang kaya akan sumber daya lautnya. Sebagai pewaris tahta raja, Louis diwajibkan menikahi seorang lady dari bangsawan ternama untuk memperkuat kestabilan kerajaannya. Begitu yang Antoni tahu saat mengikuti kelas politik di kelasnya.

"Biarlah tetap seperti ini."

 Louis kembali melanjutkan sesi latihan pedangnya. Dirinya tidak mau memikirkan kisah cintanya yang rumit. Louis ingin menikmati masa-masa kebersamaannya dengan Mirabeth tanpa diganggu oleh siapapun. Urusan dia akan berakhir dengan siapa biarlah Louis mengikuti takdir yang sudah dituliskan.

Arlene Of ArandelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang