BAB IV

8 1 0
                                    

Sudah tiga hari berlalu, tapi Arlene dan rombongan tetap mengitari lautan yang membentang luas tanpa menemukan titik temu keberadaan negeri selatan. Persediaan makanan dan bahan bakar sudah semakin menipis. Udara dingin air laut menusuk kulit Arlene yang pucat itu.

"Kita akan bergantian berjaga, kau istirahatlah tidur," perintah Arlene pada Mario, pemuda yang sudah berjaga sepanjang hari mengawasi pelayaran mereka.

Arlene menatap peta yang dipegangnya. Letak negeri timur ke negeri selatan tentu sangat jauh. Bahkan untuk mencapai kesana mereka harus melewati The Middle Sea, tempat dimana binatang bawah laut yang buas tinggal. Arlene yang mendengar rumor tentang siapapun yang berpergian melewati The Middle Sea berpeluang kecil untuk selamat. Mengingat hal itu Arlene mengeram frustasi. Rasanya Arlene tidak sanggup melewati ini dengan semua beban yang ditanggungnya.

"Uhuk uhuk"

Mendengar suara batuk dari seseorang, Arlene segera menghampiri.

"Kau tak apa-apa?" tanya Arlene khawatir pada ibu bayi yang terbatuk, dan jangan lupakan bayi yang didalam gendongannyapun sudah membiru. Arlene yang melihatnya sigap memberikan syal dan minuman.

"Kenapa bayimu membiru seperti itu?"

"Bayiku kena hipotermia, lady. Dia tidak kuat dengan dinginnya angin laut. Hiks," ucap sang ibu dengan isakan tertahannya.

Arlene pun tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu, tidak ada obat khusus bayi di kapal ini. Arlene merasa gagal untuk menjaga keselamatan rakyatnya dari mara bahaya. Karena tak bisa berbuat banyak, Arlene hanya bisa memeluk sang ibu dan bayinya untuk menyalurkan kehangatan dari tubuhnya.

Sang surya memancarkan sinarnya pertanda sudah menuju empat hari Arlene masih mengapung di lautan tak tentu arah. Raut wajah dari rakyat Arandelle memucat, kondisi lapar dan dingin membuat setiap pertahan tubuh mereka akan memburuk lambat laun. Tidak banyak makanan yang bisa di konsumsi tanpa dimasak dulu. Terlebih konsumsi air bersih. Roti yang akan menjadi sarapan pagi inipun tidak banyak, Setiap orang bergilir untuk mendapat satu gigitan. Arlene menyerahkan gigitan pertamanya untuk Thania. Dirinya tahu Thania sering menahan lapar selama ini. Arlene beranjak ke pinggir kapal untuk melihat posisi kapal saat ini. Harusnya titik kapalnya dan The Middle Sea tidak jauh lagi, artinya jika Arlene dan rombongan berhasil melewati The Middle Sea, maka tak lama lagi negeri selatan tempat tujuannya terlihat.

"Kau sudah makan dua gigitan keparat!" teriak salah seorang yang membuat Arlene tersentak dan melihat langsung apa yang terjadi.

Dua pemuda diantaranya memperebutkan sisa potongan roti terakhir untuk sarapan kali ini. Tidak banyak yang bisa diberi tapi setidaknya setiap orang harus adil memakannya.

"Lady, si keparat ini telah makan dua potong roti, sampai roti bagianku habis tak tersisa," ucap pemuda seraya menunjuk pemuda di depannya dengan amarah dan raut kesal.

"Bukankah semuanya sudah setuju untuk makan satu gigitan saja?"

"Satu gigitan tidak bisa mengganjal perutku yang kelaparan, lady," bela pemuda satunya sebagai pelaku.

"Brengsek kau!" Caci pemuda di sebelahnya.

"Lady, jika kita tidak dapat menuju negeri selatan bagaimana? Bukankah sama saja kita akan mati di tengah lautan dengan rasa kelaparan yang sia-sia?" Tanya salah satu diantara mereka dengan raut frustasi tidak tahan dengan situasi yang tak tentu arah.

Arlene yang mendengarnyapun mematung seketika.

"Aku sudah bertanya pada nahkoda bahwa The Middle Sea tidak jauh dari tempat kita saat ini," jawab Arlene mencoba menenangkan.

"Tapi bukankah rumor mengatakan jika siapapun tidak akan selamat melewati The Middle Sea?" salah satu diantaranya lagi menyahut, kali ini seorang lelaki tua dengan rambut beruban.

"Kita pasti bisa melewatinya, Queen Mother selalu bersama kita," ucap Arlene tenang.

"Omong kosong! Seharusnya sedari awal kita tahu bahwa negeri selatan itu tak pernah ada. Kita hanya akan mati kelaparan dan kena hipotermia di tengah laut seperti ini" lelaki tua itu tak terima.

"Semuanya dengarkan, apa kalian ingin terjebak di kapal ini dengan mati kelaparan atau memilih menerjunkan diri ke laut tanpa rasa sakit. Semuanya akan memberi pilihan kematian bagi kalian," ucap lainnya memprovokasi.

Melihat keadaan yang tidak kondusif, Arlene mengambil langkah untuk menenangkan situasi.

"Kita di sini bersama untuk bertahan hidup. Aku meyakini negeri selatan itu ada dan mereka akan membantu kita merebut kembali kerajaan Arandelle dari bangsa Orc." Tegas Arlene meyakinkan rakyat yang cemas.

"Tapi aku sudah tidak tahan lagi lady. Aku memutuskan untuk lompat ke laut agar sesak ini tak berkepanjangan," ucap si lelaki tua beruban dengan posisi tubuh siap melompat.

BYURRR

"J-jangan--"

Sebelum Arlene menyelesaikan kalimatnya, tubuh lelaki tua itu sudah melompat dari kapal dan tubuhnya tidak terlihat di permukaan air.

Tidak hanya Arlene, semua rakyat yang tersisa syok dibuatnya. Arlene menggelengkan kepala tidak percaya atas apa yang dilakukan lelaki tua beruban itu tanpa pikiran yang panjang.

Arlene segera memeluk Thania yang saat ini membenamkan wajahnya dengan lutut yang dilipat, memperilahatkan raut ketakutan atas apa yang terjadi.

"Lady Arlene The Middle Sea sudah terlihat. Kita sebentar lagi akan menuju ke sana." Teriak nahkoda, Omar, pemuda yang mengendarai kapal mereka menuju negeri selatan. Raline bangkit dan menuju Omar untuk melihat The Middle Sea dengan jelas menggunakan teropong.

"Apakah kita yakin dapat melewati tempat itu, lady?" Tanya Omar setelah melihat laut yang berkabut dengan gelap di ujung sana.

Raline memilih diam tak menjawab. Dirinya hanya bisa berdoa kepada Queen Mother semoga kapal mereka bisa selamat melewati The Middle Sea di depan sana.

Arlene Of ArandelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang