Hanif

7 1 0
                                    


“Alamakjang! Punya anak sebiji-bijinya sudah macam kerbau saja. Kalau tidur ga ingat bangun. Banguuunn ..., Kerbau bangun, kau!”

Sepagi ini, kediaman keluarga Ibrahim sudah ramai oleh rong-rongan perempuan yang kerap dipanggil Bunda. Ritual ini bahkan sudah berlangsung sangat lama, tak terhitung lamanya. Namun, sepertinya para tetangga sudah terbiasa dan sudah tak aneh lagi mendengarnya. Tak pernah ada yang protes.

“Mau bunda masukin lagi ke perut bunda, heh?” Serta ancaman itu sudah berulang-ulang kali ia dilontarkan kepada Hanif. Pemuda tiga belas tahun yang kini masih meringkuk nyenyak dengan posisi tidur tengkurap. Pantatnya menjulang tinggi, kepalanya tenggelam di antara gelungan selimut dan bantal, rambut keritingnya sudah seperti gulma, tangannya telentang dan mata yang tak kunjung terbuka.

Kebiasaannya satu ini memang tidak bisa lagi di ubah. Meski alarm sudah disetel setiap lima menit sekali, tetangga sudah menyalakan mesin pemotong rumput, serta suara musik dangdut yang menggema, ia tetap tak bergerak barang satu senti pun.

Sama halnya dengan suara keras dari bantal yang di pukulkan ke pantat Hanif, itu tetap tak mempengaruhi apa pun. Hanya saja, kini tubuhnya terguling ke kanan. Meski begitu, matanya tetap tertutup rapat dengan mulut yang menganga lebar.

“Maasya Allah! Sia-sia lah skincare aku ini, tetap keriput aku kalau begini terus. Bersyukur punya anak macam ini cuma satu, kalau ada lima sudah mati berdiri aku,” Gerutu Bunda.

Tak berpikir lama, kali ini Bunda berjalan menuju kamar mandi. Kakinya sengaja ia entakkan dengan keras, agar Hanif terbangun. Lantas kembali dengan membawa gayung berisi air yang hendak ia jadikan senjata untuk membangunkan sang anak.

“Hah, tau rasa lah kau!” Bunda mencipratkan air ke wajah Hanif, tetapi masih belum ampuh. Hanif hanya melenguh sebentar kemudian kembali memeluk gulingnya. “Masih tak mau bangun juga kau rupanya. Baiklah kalau begitu.”

Maka, tanpa segan Bunda mengguyurkan semua air itu tepat di wajah Hanif. Beberapa airnya masuk ke dalam mulut dan membuat Hanif tersedak.

Hanif terkejut, kemudian tak lama ia tampak panik dengan mulut megap-megap seperti ikan kehabisan air.

“Tolong, Bunda! Kamar aku diserbu alien air, Bunda aku mau tenggelam! Tidakkkk.” Ia berteriak dengan nyawa yang belum seutuhnya terkumpul. Wajahnya terlihat linglung, kepalanya menengok ke sana kemari, diiringi rambut keriting yang bergerak-gerak, napasnya memburu seolah betulan tengah diserbu alien air.

“Alien pala Kau! Bunda tenggelamin kau di kolam ikannya Pak Sugeng, mau kau!” Bunda terus saja memakai nada tinggi, membuat suaranya terdengar hingga ke telinga Ayah yang berada di teras rumah. Orang tua lelaki itu tengah menikmati secangkir kopi hitam dengan asupan berita dari koran yang dibacanya. Kenikmatan itu harus terlenggut ketika mendengar keributan yang diciptakan oleh anak istrinya. Hingga membuat Ayah berkali-kali mengembuskan napas pelan. Rupanya kesabarannya harus lebih ditingkatkan lagi mulai sekarang.

“Cepat bangun! Sudah pukul berapa ini, mau orientasi kan kau? Cepat mandi dan sarapan. Heran, punya anak kok ya, macam begini,” gerutu Bunda yang masih belum berpengaruh terhadap Hanif. “Tak mau bangun kau? Ya sudah, kalau tak bangun juga, Bunda skorsing itu uang jajanmu selama seminggu, mau kau?”

Demi mendengar hal itu, Hanif lantas melompat dari atas ranjang. Berdiri dengan tegak, kemudian tangannya terancung memberi hormat. “Siap, Komandan! Demi uang jajan, saya akan mandi dan berangkat sekolah. Tugas diterima!”

Bunda mengangguk sembari membalas hormat sang anak. Setelah itu, Hanif menggerakkan badannya dengan kaku, berbalik badan dan berjalan tegak layaknya seorang prajurit tempur.

Sedangkan di belakangnya, sang Bunda tengah geleng-geleng setengah tidak percaya dengan kelakuan sang anak. Tangannya memijat pelipis, lantas bergumam, “Duh, darah tinggi aku bisa kumat lama-lama.”

Bunda kembali ke dapur setelah merapikan tempat tidur Hanif yang basah karena ulahnya. Bergegas menyiapkan sarapan berupa roti panggang dengan isian telur mata sapi dan segelas susu.

“Udah bangun Bund, Hanifnya?”

Ayah datang dengan gelas kosong dan koran di tangan. Menghampiri meja makan lalu duduk di salah satu kursi. Jika Bunda adalah tipe orang tua yang cerewet, maka Ayah adalah kebalikannya. Ia cuek, tetapi di samping sifat irit bicaranya, Ayah tetap memperhatikan keluarga kecilnya.

Pagi ini sama seperti pagi kemarin, Ayah tak akan sarapan, ia tak biasa makan pagi. Biasanya Ayah hanya minum secangkir kopi lantas ia akan makan ketika hari menjelang siang.

“Sudah. Lagi mandi dia. Anak ayah satu itu kenapa susah kali dibangunkan. Entah mirip siapa lah anak itu,” gerutu Bunda.

Ayah terkikik geli mendengarnya. Sebenarnya ia juga bingung dengan itu. Di antara ia dan sang istri, tak ada yang memiliki rambut keriting macam Hanif, pun begitu dengan kebiasaan sulit bangun pagi yang dimiliki sang anak. Ayah jadi berpikir, apakah Hanif sempat tertukar dengan bayi lain ketika di rumah sakit?

“Lapor komandan!”

Suara bulat menggelegar khas danton itu berasal dari arah pintu dapur. Di sana sudah berdiri Hanif dengan tangan terancung memberi hormat. Nah, ritual ini pun tak pernah absen Hanif lakukan. Ketika ia hendak memasuki ruang makan dan menemukan sang Bunda di sana, maka ia akan berlagak semacam prajurit yang hendak menyiapkan perbekalan sebelum berperang.

Hanif sudah siap dengan pakaian sekolah, membawa tas dan menenteng sepatu. Namun, pernak-pernik khas masa orientasi siswa sudah melekat di tubuhnya. Topi kerucut terbuat dari kardus, kalung yang terbuat dari permen, kaus kaki beda warna, dasi kupu-kupu, serta kacamata bulat seperti Boboho.

Masa orientasi ini sudah berlangsung sejak tiga hari yang lalu. Setiap harinya, pernak-pernik diubah sesuai keinginan para panitia. Bahkan, kemarin ia memakai tas yang terbuat dari karung goni.

“Lapor, saya lapar. Karena lapar, saya lapor. Laporan selesai.”

Banyak ritual pagi yang berjalan seperti itu-itu saja. Salah satunya seperti laporan yang akan dibalas gerutukan Bunda yang terlanjur kesal terhadap sang anak.

Lantas, Hanif akan bergegas melangkahkan kaki, menuju meja makan. Memberikan cengiran khasnya kepada kedua orang tuanya. Duduk di antara Ayah bundanya, kemudian mulai memakan sarapannya.

“Wah! Rotinya dipanggang, tidak digoreng,” seloroh Hanif dengan antusias ketika melihat menu sarapan pagi ini.

“Cepat makannya, susunya diminum itu. Biar cepat besar kau,” perintah Bunda. Hanif mengangguk dengan mulut sibuk mengunyah sarapannya. “Hari ini bekalnya nasi sama nugget. Bunda gak sempat masak.”

Hanif berhenti mengunyah, ia merenggut tak senang. Lalu mengeluarkan jurus merajuknya.

“Yah, Bunda. Padahal aku pengen goreng lumba-lumba.”

“Mana boleh, itu dikecam pemerintah dan pencinta hewan, Nak.”

“Bukan lumba-lumba hewan, Bund. Tapi lumpia barbeque-lumpia barbeque.”

Bunda menganga lebar, sedangkan Ayah hanya tepuk jidat!

Rumah ke RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang