"Hanif!" teriakan seseorang dari ujung koridor behasil menghentikan langkah Hanif, suara ini sudah tidak asing lagi di telinga Hanif. Dalam sekali gerakan, Hanif berbalik dan melihat siapa orang yang memanggilnya.
"Napa, Yo?" balas Hanif setelah melihat Dio berdiri dua meter di hadapannya.
Dio tersenyum kecil, tangan kanannya menyugar rambut yang jatuh menghalangi pandangan. Sial. Laki-laki yang berstatus rival Hanif ini ternyata punya pesona yang tidak bisa dijelaskan. Jangankan Kanya, Hanif saja hampir terpesona oleh gerakan kecil lelaki di hadapannya itu.
Tentu saja Hanif tak mau kalah. Dengan cepat ia mengubah gaya bedirinya, menegakkan tubuh, sedikit menangkat dagu, dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Tak apa ia tidak semempesona Dio, tetapi setidaknya Hanif adalah pria paling tampan menurut Bunda.
"Jadi gini, tanggal 15 nanti bakal ada class meeting. Nah, nanti ada mata lomba musikalisasi puisi, karena di kelas kita cuma kamu doang yang bisa main gitar, kamu ikut lomba yah bareng Siti."
Penjelasan itu cukup masuk ke otak Hanif. Namun Hanif sepertinya tidak terlalu merespon tawaran Dio selaku ketua kelas. Sebab yang menjadi vokalisnya adalah Siti, bukan Kanya.
"kenapa Siti yang jadi musikalisasi? Kemaren bukannya Kanya yang Lo tunjuk?" tanya Hanif.
Dio menggeleng pelan. "Kanya jadinya ikut lomba Volly, katanya dia gak pede kalo tampil di depan umum gitu."
Sebelah alis Hanif naik ke atas, ia tampak befikir. Sepertinya ada yang tidak beres dengan Kanya. Sebab Hanif tahu betul, bahwa manusia seperti kanya tidak mungkin memiliki urat malu.
"Sori, Yo. Gua juga gak pede kalo tampil di depan umum gitu. Lo kan tau sendiri gua gimana, presentasi di depan kelas aja gua gemeteran, apalagi depan anak-anak satu sekolah. Bisa demam tujuh hari tujuh malem gua." Alasan ini sebenarnya tidak semuanya benar. Hanya saja Hanif memang cukup intovert. Ia bahkan pernah ditertawakan sang Bunda karena ngompol saat wissudaan Taman Kanak-kanak.
Ya, anggap saja ia tak ingin ditertawakan oleh bundanya yang kedua kali.
Dio mengangguk paham, ada sedikit kecewa dari raut wajahnya. Sebab, sepertinya memang hanya Hanif yang bisa mengiringi Siti berlomba.
"Yauda gapapa kalo kamu gak bisa, mungkin kelas kita gak bakal ngirimin peserta di mata lomba ini," ujar Dio. "Kalo gitu aku duluan ya, Nif. Mau ke lapangan lagi."
Selepas Dio berpamitan, Hanif belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ia masih mematung, memandang kosong lorong-lorong kelas yang mulai ramai.
Entah apa yang dipikirkan Hanif, tetapi itu sulit digambarkan.
Namun tak ada yang bisa menebak Hanif, siswa berbadan gempal itu justru melangkahkan kaki menuju lapangan. menyapukan pandangan pada seluruh tempat, mencari-cari seseorang dari ramainya anak-anak berseragam olahraga di sana.
Objek yang dituju tidak langsung Hanif temukan. Ia masih mencari sembari berjalan mengelilingi lapangan.
setelah tanpa sadar Hanif mengelilingi lapangan sebanyak dua kali, kakinya berhenti. Ia menggeleng pelan, kemudian melangkah keluar dari sana.
"Loh, Hanif?" Suara itu persis seperti orang yang sedang ia cari. Lantas ia segera membalikkan badan. "Ngapain di sini?"
"Gua mau Yo," ucap Hanif segera. "Gua mau ikut lomba musikalisasi puisi bareng Siti."
Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada bergerak untuk mencapai apa yang diinginkan. Kali ini Hanif hanya butuh sedikit menunjukkan diri di hadapan Kanya. Setidaknya agar Kanya menganggapnya ada.
Rencana kali ini tidak boleh gagal atau tak maksimal. Hanif harus benar-benar membuka mata Kanya, memalingkannya dari Dio. hanya itu.
Maka yang perlu Hanif lakukan sekarang adalah berlatih dengan gigih, berusaha tampil sememukau mungkin. Meskipun setiap pulang sekolah ia harus berlatih bersama Siti. perempuan paling cerewet setelah bundanya.
"Ya Allah, Nif. Sekali lagi doang, ini aku udah selesain puisinya kok," gerutu Siti.
Gerutuan itu tak langsung Hanif tanggapi, sebab ia ingin segera pulang dan tidak ingin lagi berlatih. Setengah jam lalu, harusnya ia pulang bersama Kanya, sialnya latihan baru saja dimulai. Hanif tidak mungkin hanya berlatih sekali saja.
Hanif tetap meraih gitarnya meski diiringi decakan dan gerutuan. Sedangkan Siti terkekeh pelan melihat wajah kesal Hanif.
Petikan gitar mulai mengalun, nada yang Hanif pilih berasal dari lagu milik Nadin Amizah berjudul Mendarah.
Di awal nadanya mengalun bak lagu tidur, seperti mengajak semua orang untuk fokus pada sang penampil. Kemudian, Hanif memulai dengan nada yang mendayu dan saat itulah Siti berkata-kata, dengan suara merdu, dengan suara penuh penghayatan. Meski mereka tahu, bahwa yang mendengarkan hanyalah jajaran kursi meja belajar.
Satu bait terakhir, Siti menuntaskan nya dengan senyum tipis. Ia merasa bahwa semua akan sesuai dengan ekspektasinya. Bahkan di antara baris-baris kursi itu, sudah terisi oleh penonton dengan tepuk tangan yang hanya ada dalam bayangan Siti.
"Gua duluan," ucap Hanif menghentikan bayang-bayang Siti. "Oiya, besok gua gak bisa latihan. Kayanya ini terakhir latihan kita. Gua balik, bay!"
Belum sempat Siti mengeluarkan sepatah kata, Hanif sudah berada di depan pintu dan menghilang di balik kelokan. Padahal ini baru latihan hari kedua, tapi Hanif bilang tidak akan latihan lagi.
Siti hanya bisa menahan kesal, sebab Hanif ingin ikut saja ia sudah bersyukur. Jangan sampai Hanif tidak hadir di acara besok lusa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah ke Rumah
HumorHanif telah mengalami banyak peristiwa, ia selalu mengembarakan jiwa. Namun sepanjang perjalanan, yang ia temukan hanyalah tempat persinggahan, dengan segala usah dan jatuh bangun, akankah Hanif menemukan rumah untuknya pulang?