Gara-gara Perasaan

0 0 0
                                    

Ruangan berpendingin itu tetap membuat Kanya dan Hanif kesulitan bernapas. Bukan karena apa-apa, tetapi mereka kini tengah berhadapan dengan Pak Bram. Duduk di sofa panjang, berdua. Di hadapan mereka, guru galak itu tengah menatap garang.

Tak banyak yang bisa dilakukan Hanif, pun begitu dengan Kanya. Keduanya hanya bisa menunduk lesu, memelintir ujung baju untuk menghalau gugup dan rasa takut.

Sedangkan ini sudah hampir seperempat jam mereka di ruangan BK. Ruangan ini memang terkenal horor. Bukan karena banyak hantu, tetapi karena aura pemilik ruangan ini sangat menyeramkan. Ya, mungkin tidak akan seseram itu jika pemilik ruangan ini bukanlah Pak Bram.

“Jadi, kalian mau minta maaf atau piket kelas selama satu Minggu?” tanya Pak Bram.

Ini sudah pertanyaan ke lima sejak Pak Bram meminta Kanya dan Hanif untuk berdamai. Hanya saja, keduanya terlalu keras kepala dan meninggikan gengsi. Tak ada satu pun dari keduanya yang  ingin mengalah dan meminta maaf. Malah memilih diam dan memancing emosi Pak Bram.

“Oke. Kalau gak ada yang mau ngalah, biar Bapak yang pilihkan.” Kesabaran Pak Bram mulai habis.

Namun, kedua siswa itu masih enggan untuk meminta maaf. Maka, terpaksalah Pak Bram yang menentukan hukuman.

“Mulai besok, setiap pulang sekolah, kalian harus piket kelas. Selama satu Minggu!”

Pernyataan itu tentu saja membuat Kanya syok dan Hanif menggerutu. Keduanya tidak mau melakukan hal itu, tetapi mereka juga tak Sudi jika harus meminta maaf. Sebab masing-masing di antara mereka merasa tidak bersalah sama sekali.

Hanif baru saja akan melontarkan protes, tetapi Pak Bram sudah mengangkat tangannya ke arah pintu. Menyuruh keduanya untuk segera pergi dari ruangan tersebut, sebelum ultimatum selanjutnya ia lontarkan.

Maka, Kanya segera mendorong Hanif untuk pergi dari sana. Mengucapkan salam ala kadarnya, lantas menghilang di telan kelokan.

Sampai di depan kantin, Kanya dengan gemas memukul lengan atas Hanif.

“Woi! Sakit ini,” protes Hanif.

Kanya mendelik tajam. “Bodo amat, siapa suruh ga mau ngalah,” kesal Kanya.

Hanif menghentikan langkahnya, ia menyerongkan badan, menghadap Kanya. Perempuan dengan tinggi sebatas bahunya itu ikut berhenti. “Gak ada dalam kamus aku, seorang laki-laki mengalah! Lagian itu kursi aku, hak aku, kamunya aja yang ngeselin,” oceh Hanif.

Bibir Kanya mengerucut sebal. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih, ingin sekali ia mengapit mulut teman satu bangkunya itu hingga memble. “Kamu tuh, yang ngeselin!” balas Kanya.

“Kamu!”

Suasana kantin yang mulai ramai lantas menjadi lebih ramai karena perdebatan itu. Banyaknya orang lantas menyaksikan pertengkaran keduanya. Satu dua siswa menepuk jidat, mereka baru saja menyaksikannya setengah jam lalu di kelas, maka kini mereka harus menggerutu di depan kantin.

“Heh!” Seorang lelaki berkacamata dengan alis tebal menghentikan perdebatan itu. “Jangan kebanyakan berantem ya, Dek. Nanti lama-lama malah jatuh suka. Wah, repot urusan,” ujarnya diakhiri tawa renyah dua orang teman di belakangnya.

Kanya dan Hanif beradu tatap selama beberapa detik, lantas Hanif bergidik ngeri mendengar hal itu. Tak beda, Kanya segera mengetukkan tangannya bergantian ke kepala dan dinding, mulutnya komat-kamit melafazkan mantra penolak.

Ketiga kakak kelas itu kembali melangkah menuju salah satu stand. Sedangkan Hanif dan Kanya masih berdiri saling adu argumen di depan pintu.

Keduanya kemudian memilih berjalan dengan arah yang berbeda. Kanya melanjutkan langkah menuju kantin, sedangkan Hanif kembali ke kelas.

Semenjak hari itu, keduanya terus tak akur. Selalu berdebat, adu mulut dan argumen. Hal sepele pun akan menjadi besar jika dihadapi oleh mereka.

Namun, hal itu juga menjadikan keduanya tak bisa dipisahkan. Mereka terus menempel. Di mana ada Hanif maka di sana ada Kanya. Bahkan, ketika kenaikan kelas berlangsung, ketika keduanya mendapat kelas yang berbeda, Hanif diam-diam memaksa Pak Bram agar ia bisa pindah kelas.

Hanif merasa tidak terima jika ia tidak satu kelas lagi dengan Kanya, ia selalu berpikir jika Kanya tidak berada di sebelahnya, maka semangatnya untuk belajar akan hilang.

Pak Bram yang semula menolak pun terpaksa mengabulkan keinginan Hanif. Muridnya itu memang benar-benar keras kepala.

“Nya!” panggil Hanif. Ia berlari menghampiri Kanya yang berada sepuluh meter di depannya. “Kamu masuk kelas berapa?” tanyanya ketika sudah tepat berhadapan dengan Kanya. Ia berusaha bertanya dengan senatural mungkin, berpura-pura seolah ia tidak mengetahui jawabannya.

Kanya tersenyum amat lebar, lantas menjawab dengan semangat. “Tau gak?” Ia berucap dengan bola mata yang membesar. “Aku sekelas sama Dio, Yeay!”

Tak ada yang perlu dijelaskan, Hanif merasa senang tentu saja. Namun, entah apa namanya, ia tiba-tiba saja kehilangan semangat. Senyumnya tetap terpatri, tetapi tidak sampai kepada matanya.

“Dio, anak Pramuka itu ya?” tanya Hanif yang dibalas anggukan Kanya. “Oh, hahaha. Kebetulan dong. Kamu bisa tuh, pepet dia. Kalo bisa, ikutan Pramuka juga sana.”

Nah, entah mungkin keadaan yang mendorong Hanif berkata demikian, atau memang Hanif adalah manusia paling bodoh soal perasaan. Dia malah membuat keadaan semakin buruk, sebab setelah itu Kanya justru menuruti saran darinya. Gadis itu suka rela bergabung dengan ekstrakurikuler Pramuka demi terus berada lebih lama bersama lelaki cepak itu.

Itu situasi yang sangat menjengkelkan. Selama satu semester, Hanif terus kehilangan momen bersama Kanya. Gadis itu lebih sering bergabung dengan Dio, atau berbicara melantur tentang Pramuka yang sama sekali tidak Hanif mengerti, membuat dirinya merasa diabaikan.

Hanif semakin kebingungan dengan perasaannya, ia gusar. Terlebih, ketika memasuki semester kedua, Kanya dikabarkan memiliki hubungan spesial dengan Dio.

“Udahlah, Nif. Ngaku aja, kamu suka kan sama Kanya?”

Sudah seminggu sejak Hanif gagal makan mie ayam dengan Kanya, dan sejak hari itu pula Bunda selalu menanyakan hal yang sama. Perempuan paling cantik di rumahnya itu tak pernah bosan menggoda Hanif. Dengan tatapan penuh semangat, senyum menjengkelkan, serta suara paling tidak merdu—di telinga Hanif, Bunda akan selalu bertanya hingga ia mendapat jawaban yang ia inginkan.

Siapa yang tak senang, ketika mengetahui bahwa anak laki-lakinya kini tengah dilanda cinta monkey.

“Enggak!” Hanif menjawabnya dengan tegas. “Udah aku bilang, aku gak suka sama Kanya. Bunda kenapa sih, aku tuh lagi makan, nanti kalo keselek gara-gara pertanyaan Bunda, terus aku mati, terus nanti Bunda sama ayah gak punya anak seimut aku lagi, gimana?! Emang kalian sanggup?”

Rumah ke RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang