Cuaca panas hari ini sungguh membuat Hanif merasa jengkel, sebab keringat sudah membasahi sebagian baju seragamnya. Tidak hanya Hanif, semua siswa baru yang mengikuti orientasi pun sama.
Sejak dua jam lalu, semuanya tengah berbaris rapi mendengarkan celoteh para senior serta panitia yang memberikan arahan, dengan suara lantang, berdiri di depan semua orang.
Berkali-kali keringat menetes melewati pelipis Hanif, beberapa di antaranya perih mengenai mata. Meluncur hingga leher dan bermuara di perut buncitnya.
“Jadi, seperti itu. Setelah kalian berhasil mendapat tanda tangan kakak kelas pendamping, lanjutkan ke pendamping kelas lain. Usahakan semua kolom tanda tangan di buku ini diisi tanda tangan dan kata-kata motivasinya.”
Seorang lelaki dengan jas biru tua sejak tadi berceloteh lantang dengan mik yang sepertinya sudah basah disembur ludah, sudah seperti terkena hujan lokal.
Penjelasannya terlalu berputar-putar, lelaki dengan jabatan ketua OSIS itu nyatanya hanya membahas satu hal. Yakni, jangan lupa meminta tanda tangan kakak kelas pendamping! Itu saja. Namun, penjelasan itu selalu diulang-ulang dengan kalimat yang berbeda. Membuat Hanif semakin jengkel dibuatnya. Berpikir bahwa ia tak sebodoh itu hingga satu pemahaman saja harus diulang-ulang.
Matahari hampir tepat berada di atas kepala, bayangan pun sudah mulai mengecil. Namun, acara tak kunjung selesai. Bisik lebah mengudara, para peserta orientasi sudah mulai bosan dan kepanasan.
Hanif memperhatikan sekelilingnya, lantas ia melihat kakak kelas yang tergabung dalam ekstrakurikuler PMR tengah berdiri di belakang para siswa. Tak lama, ide brilian muncul dalam benaknya begitu saja.
Hanif akan berpura-pura pingsan agar bisa berteduh di ruang kesehatan. Meskipun nyatanya ia tak pernah sekalipun dalam hidupnya merasakan pingsan. Hanif akan mencobanya, sedikit trik tak apa kan?
Ia melongok kan kepala mencari keberadaan anggota PMR. Dua orang hendak berjalan melintasi barisannya, maka Hanif segera bersiap-siap untuk menunjukkan aktingnya.
Anggota PMR itu sudah hampir sampai, Hanif mulai menghitung di dalam hati. Ketika sampai pada hitungan ke-tiga, semua orang yang berada di barisan berteriak kaget.
Termasuk Hanif.
Bukan, bukan Hanif yang pingsan, tetapi perempuan yang berada di depannya. Perempuan dengan poni dan rambut sebahu yang sedari tadi bergerak gelisah entah karena apa. Kini sudah terkulai lemah di lantai.
Hanif yang berada di belakangnya kemudian berjongkok dan memeriksa keadaan gadis itu. Ternyata ia betulan pingsan, bukan mengada-ada seperti yang akan dilakukan Hanif. Ya, meskipun Hanif tak pernah mengetahui bagaimana rasanya pingsan, setidaknya ia tahu mana pingsan yang benar-benar dan mana yang hanya tipuan.
“Oyy, PMR! Mana PMR?” teriak Hanif meminta bala bantuan kepada para anggota PMR. Tak lama, dua orang berlari menghampiri, memeriksa keadaan gadis itu dan hendak membawanya ke ruang kesehatan.
Nah, kesempatan memang selalu ada di mana saja. “Ayo, Kak. Saya bantu.” Jika Hanif membantu membopong tubuh gadis itu, maka ia tak perlu berpura-pura pingsan dan mengambil risiko kalau-kalau aktingnya diketahui oleh orang lain. Ide cemerlang.
Sesampainya di ruang kesehatan, angin segar dari pendingin ruangan langsung menyapu semua rasa gerah dalam tubuh Hanif. Segar sekali.
Mereka lantas membawa tubuh gadis itu ke atas brankar dan membaringkannya di sana.
“Kak, biar saya aja yang jagain dia. Kasian dia, kalo penyakitnya kambuh bisa repot,” ujar Hanif.
“Lho, emang dia punya penyakit apa?” tanya salah satu anggota PMR.
Hanif berpikir spontan dan mengucapkannya. “Dia suka jadi reog kalo abis pingsan kak.” Kalimat itu ia lontarkan dengan mimik wajah yang amat meyakinkan.
Alih-alih percaya, para anggota PMR itu menatap Hanif penuh sangsi. Mereka tidak percaya, tentu saja. Siapa yang bisa berubah jadi reog ketika baru bangun dari pingsan, itu mustahil.
Melihat ketidaksetujuan para kakak kelas itu, Hanif kemudian tertawa pelan lalu berujar, “Becanda kak. Gak jadi reog, tapi jadi barongsai.” Hanif tertawa di ujung Kalimat. “Pokonya dia punya penyakit yang gabisa saya sebutin. Intinya biar saya yang jagain dia, kakak-kakak istirahat atau ke lapangan lagi aja. Gapapa.”
Setelah beberapa kalimat meyakinkan, akhirnya para anggota PMR itu pergi meninggalkan ruangan kesehatan. Dengan catatan bahwa suhu ruangan tidak boleh diturunkan dan mereka menunjukkan letak obat-obatan berada.
Setelah tidak ada siapa pun Hanif lantas segera menghampiri brankar kosong tepat di sebelah brankar gadis yang kini masih pingsan. Tirai penutupnya ia biarkan terbuka, untuk mengamati barangkali gadis itu betulan menjadi reog ketika sadar nanti.
Terlentang dengan tangan menjadi tumpuan kepala, Hanif menggoyang-goyangkan kedua kakinya, menatap langit-langit dengan mata yang mulai memberat. Sangat nikmat dan menyenangkan.
Baru saja ia akan terlelap, tetapi gagal terlaksana ketika ia mendengar suara ringisan dari brankar di sebelahnya. Gadis itu sadar, memegangi kepala bagian belakang sebab merasa nyeri ketika diajak duduk. Tak lama dari itu, ketika baru beberapa detik mata cantik gadis itu terbuka, suara teriakan nyaring hampir membuat Hanif jantungan.
“Mama! Tolong Kanya, Mah! Masa, Kanya udah di surga. Kanya gamau, Kanya masih pengen sama Mama.” Gadis itu ketakutan sampai menutupi seluruh wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.
Juga, tangisan dan teriakannya semakin kencang, membuat Hanif panik dan segera melompat menghampiri.
“Woy, lu kenapa?”
“Mama! Malaikatnya nanya-nanya aku. Aku belum nyiapin jawaban, gimana dong ini. Huaaa!”
“Woy!”
“Mama! Malaikatnya galak.”
Semakin Hanif berusaha menghentikan teriakannya, gadis itu semakin tak bisa dikendalikan. Hanif menjadi gemas sendiri. Maka dengan penuh kekesalan, Hanif membalas teriakan gadis itu.
“Kamu itu lagi di ruang kesehatan, bukan lagi di surga, bodoh!”
Gadis itu terkejut lalu membuka matanya, melihat seorang anak laki-laki berbadan gempal dengan perut buncit dan pipi chubby tengah berdiri di hadapannya dengan nafas tersengal-sengal.
“Mangkanya kalo punya otak dipakai. Ruangan segini bau obat-obatannya kamu bilang surga.” Hanif terlanjur emosi. Mana ada gadis yang menganggap bahwa ruang kesehatan adalah surga, selain gadis aneh itu.
Gadis itu tak menghiraukan celoteh Hanif, ia malah mengurut dada melafazkan rasa syukurnya. Wajahnya yang pucat serta poni yang sudah tak berbentuk itu kini terlihat lebih baik. Sebab, ketika di lapangan, kepalanya berdenyut nyeri, kemudian tak lama pandangannya menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apa lagi.
“Hehe. Maaf, ya. Aku kira, aku udah ga hidup.”
Hanif memutar bola matanya malas, ia memilih untuk kembali ke brankar tempat ia hendak tidur barusan. Duduk dan mengamati gadis itu sebentar.
“Ada yang sakit ga? Atau mau minum obat apa?” tanya Hanif.
Gadis itu tampak berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
“Bagus deh, aku mau tidur dulu. Kalo kamu mau keluar, duluan aja,” ujar Hanif sembari merebahkan badan untuk kembali tidur.
Alih-alih pergi atau kembali tidur, gadis itu malah beranjak dari tempatnya. Berjalan menghampiri Hanif yang hanya berjarak beberapa langkah saja. “Namaku Kanya,” ucapnya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan kanan.
Hanif menatap Kanya dengan bingung. Jadi, ia harus menerima uluran tangan itu? Namun, mata hazel itu terus menatap Hanif dengan tulus.
Kemudian, setelah berpikir bahwa gadis itu tidak buruk, Hanif membalas jabatan tangan Kanya. Sejak hari itu, Hanif mengenal gadis aneh yang menyelamatkan dirinya dari berpura-pura pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah ke Rumah
HumorHanif telah mengalami banyak peristiwa, ia selalu mengembarakan jiwa. Namun sepanjang perjalanan, yang ia temukan hanyalah tempat persinggahan, dengan segala usah dan jatuh bangun, akankah Hanif menemukan rumah untuknya pulang?