"Sial, akan sangat memalukan kalau Aku melarikan diri sekarang. Lebih baik, Aku tetap bersikap tenang," ujar Stephen dalam hatinya, matanya melirik ke arah sekitar, ia memperhatikan beberapa ekspresi berbeda-beda yang ditunjukkan oleh teman-temannya yang berada tak jauh darinya. "Ugh, sial!" Stephen mengangkat lengan kirinya ke atas meja, sikunya bertumpu pada permukaan meja. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat menutupi wajahnya.
"Senang melihat kalian semua dalam keadaan yang masih utuh," ujar Tony di sebelah sana, yang membuat Stephen berteriak dalam hatinya. Ayolah, utuh dari mana? Apakah keadaan tangan Stephen sekarang ini dapat dihitung sebagai sesuatu hal yang utuh? Entah mengapa, rasanya salah sekali. "Oh, ya— untuk sesaat, Aku ingin mengatakan, kalau dunia ini memang sempit sekali. Akhirnya, Doctor Stephen Strange menampakkan dirinya setelah sekian lama. Terimakasih karena sudah mau datang ke acara ini, sebagai salah seorang tamu pentingku." Siku Stephen jatuh dari atas meja, jika saja ia tidak waspada- mungkin saja dahinya juga akan menabrak permukaan meja kayu yang keras.
Hampir seluruh pasang mata langsung mengalihkan pandangannya ke arah Stephen yang berdehem, berpura-pura sibuk dengan dirinya sendiri.
Dan- apakah orang itu mengatakan bahwasanya Stephen adalah tamu pentingnya? Ah, mungkin Stephen sudah salah dengar.
"Kau dengar itu? Tamu spesial," ujar Pepper seraya menyikut Stephen, tak lupa dengan kedua alisnya yang naik dan turun, bermaksud menggoda Stephen. "Kau mungkin salah orang," ujar Stephen yang kini melirik ke arah Pepper yang masih mempertahankan raut wajahnya yang terlihat menyebalkan di mata Stephen. "Tidak ada, Steph. Hanya kau Stephen Strange yang istimewa di mata Tony," ucap Pepper lagi, yang tentu saja bermaksud untuk menggoda Stephen.
Sementara di sebelah sana, Tony kembali mengucapkan beberapa kata patah lagi dalam pidatonya. Dan berulang kali, kata-kata tersebut menyikut ulu hati Stephen. Sehingga, pria itu sama sekali tidak merasa tenang dalam duduknya. Dan kini, bukan hanya Pepper yang menggoda Stephen- melainkan, Scott juga. Pria yang sebelumnya pergi menjemput Stephen itu menggodanya hanya dengan menggunakan ekspresi wajahnya. Namun, itu terasa berkali-kali lipat lebih menyebalkan ketimbang Pepper yang menggodnya sendiri. "Demi Tuhan, bisakah kalian berdua diam?" Stephen memijat pangkal hidungnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa pusing karena berada di tengah-tengah dua orang yang menyebalkan ini terlalu lama.
Mungkin, Stephen akan pingsan jika Wanda juga ikut-ikutan menggoda dirinya.
"Baiklah-baiklah, kasihan sekali kau malam ini." Scott tersenyum untuk yang terakhir kalinya, sebelum ia mulai ikut yang lain menyantap makan malam yang tersedia. Pepper dan Stephen pun sama. Namun bedanya, Stephen terlihat tidak berselera makan, pria itu hanya menyantap sedikit makanan yang tersaji di hadapannya. Padahal, di depannya tersaji beberapa makanan yang menjadi favoritnya. Dasar orang-orang biadab, apa maksud mereka menyediakan semua ini?
"Kau tahu, Steph? Kau harus serius dengan makananmu, setidaknya. Atau, orang-orang akan terus memperhatikanmu seperti sekarang ini." Stephen terkejut, secara refleks ia langsung memandang orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun sialnya, orang-orang itu terlihat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Stephen langsung mengalihkan pandingannya ke arah Scott yang tersenyum lebar ke arahnya. "Tapi Aku serius," tambahnya yang membuat Stephen menghela napas kasar. Akhirnya, Stephen memaksakan dirinya untuk makan— meskipun dirinya enggan.
"Rasanya, lebih baik Aku pulang saja. Aku mereasa tidak enak." Scott menoleh, dengan mulutnya yang baru saja ia isi dengan daging lobster. "Oh, ya, kau tidak bisa melakukannya. Atau kau akan menjadi bahan pembicaraan selama beberapa waktu ke depan," ujar Scott dengan mulutnya yang kembali ia isi dengan makanan yang sama, pria itu terlihat kelaparan sekali. "Sial." Bahu Stephen merosot ke bawah, Paria itu kembali menyandarkan punggungnya ke belakang, lalu meletakkan alat makannya di atas piring.