16. Something to Talk About

256 47 10
                                    



SEPULUH TAHUN KEMUDIAN


Jocelyn memarkirkan Audi-nya di dalam garasi luas yang berada di samping rumahnya dan menghentikannya tepat di samping Vios milik ayahnya yang sering digunakan untuk bepergian ke mana-mana, terutama untuk menjemput Faith setiap pulang sekolah seja...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jocelyn memarkirkan Audi-nya di dalam garasi luas yang berada di samping rumahnya dan menghentikannya tepat di samping Vios milik ayahnya yang sering digunakan untuk bepergian ke mana-mana, terutama untuk menjemput Faith setiap pulang sekolah sejak mereka kembali ke Jakarta. Tentu saja James yang mengemudikannya sendiri setiap kali dia menjemput Faith di sekolah barunya. Keluarga mereka memang tidak memiliki jasa sopir pribadi. Hanya kadang-kadang saja mereka menyewa jasa sopir, itu pun jika jarak waktu tempuh ke tempat yang akan dituju lebih dari satu jam.

Tahun ini ayahnya akan berusia 68 tahun, tapi dia masih terlihat begitu bugar dan sehat sehingga sering dikira kalau usianya baru 50an tahun. Wajar saja, James dulunya bekerja sebagai seorang reservoir engineer di sebuah perusahaan migas di Indonesia sampai kemudian diangkat menjadi engineering manager hingga masa pensiunnya tiga tahun yang lalu.

Ah ya, dan Faith juga sangat mengidolakan kakeknya. Terlepas dari sikap tegas yang sering James tunjukkan ketika menegur Faith setiap kali cucunya itu melakukan kesalahan di luar batas, Faith tetap menyayangi dan mengagumi kakeknya tanpa tapi. Dan hal itu mungkin disebabkan karena James yang hampir tidak pernah menolak apa pun keinginan Faith selama keinginan itu masih mudah untuk dia penuhi.

"Faith?" Jocelyn memanggil begitu dia berjalan menaiki undakan tangga yang mengarah ke beranda depan rumahnya. Salah satu tangannya menenteng sebuah paper bag berisi kotak kue pemberian Sebastian—yang memang sengaja dibeli laki-laki itu sebagai oleh-oleh untuk Faith, katanya. "Faith? I'm home, honey!"

"Mama sudah pulang?" Hope yang sedang menyusun lego di ruang keluarga ditemani oleh kakek dan neneknya menoleh ke arah ruangan depan tempat suara ibunya berasal. Raut wajahnya terlihat begitu antusias ketika dia beranjak dan berlari meninggalkan susunan legonya yang masih setengah jadi untuk menyambut Jocelyn yang baru saja melangkah melewati pintu depan.

Hope berhenti sejenak untuk menatap ibunya dengan kedua mata yang berbinar ceria—senang karena akhirnya bisa melihat seorang ibu yang selama ini tidak pernah dia kenal. Senyuman Hope sedikit demi sedikit mengembang. Mama jauh lebih cantik dilihat secara langsung dibandingkan dengan foto-fotonya yang tersimpan di dalam kotak kayu.

Jocelyn tersenyum manis melihat kemunculan putrinya dari arah ruang keluarga, menyambut kepulangannya dengan mata berbinar dan senyuman ceria. "Hi, baby."

"Mama..." Hope berlari menyongsong ke arah Jocelyn dan memeluknya erat-erat ketika ibunya berjongkok untuk menyambut pelukannya. Dia merangkul leher ibunya dan meletakkan dagu di atas bahunya, menumpahkan perasaan rindu yang dia miliki untuk sang ibu. Dari apa yang pernah diceritakan oleh Eyang, Mama pergi dari rumah bersama Faith saat usianya masih sekitar satu tahun, dan sejak saat itu juga Hope tidak pernah merasakan seperti apa rasanya dipeluk oleh Mama. Sekarang, setelah hampir delapan tahun berlalu, akhirnya dia bisa merasakan pelukan ibunya lagi.

FAITH & HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang