"I would even be happier if you became my wife." Jeffrian tersenyum, lalu meraih tangan kanan Jocelyn yang sedikit bergetar dan meremasnya lembut sebelum membawanya ke depan bibir untuk mengecup buku-buku jarinya. Menatap kembali perempuan di hadapannya dengan intens sekaligus hangat, dia menyambung dengan, "Will you marry me?"
Mendengarnya, Jocelyn merasa seakan-akan dunianya berputar dan berputar lebih cepat, sinkron dengan jantungnya yang saat ini berdebar lebih kencang di balik rongga dadanya. Dia ingat dia sering bertanya-tanya bagaimana hubungannya dengan Jeffrian akan berlanjut begitu trip satu minggu mereka di atas kapal pesiar berakhir. Apa yang akan terjadi ketika semua itu berakhir, setelah dia pada akhirnya menyerah pada Jeffrian—membiarkan laki-laki itu memilikinya, mengklaim tubuhnya, hatinya, pikirannya, jiwanya...
Jocelyn sering mengharapkan banyak hal tentang mereka berdua sejak saat itu, sejak malam di mana dia menyerahkan diri sepenuhnya pada Jeffrian. Harapan sekecil apa pun, agar hubungannya dengan Jeffrian tidak perlu ikut berakhir seperti trip singkat mereka misalnya. Berharap agar mereka tetap bisa melanjutkan hubungan mereka sambil berusaha saling mengenal satu sama lain. Berharap agar suatu hari nanti dia tidak perlu merasa menyesal sudah terlibat dengan Jeffrian.
Dari semua harapan-harapan dan pengandaian itu, Jocelyn hampir tidak berani membayangkan tentang pernikahan. Dia selalu menghindari topik mengenai pernikahan saat masih bersama dengan Tristan. Baginya pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang sangat sakral. Dan dia tidak bisa—tidak ingin—sembarangan membicarakan sesuatu yang sifatnya sakral seperti itu dengan seseorang yang dia sendiri tidak yakin akan benar-benar berakhir bersamanya.
Lalu di sinilah dia dan Jeffrian berada sekarang. Duduk berhadapan di sebuah restoran bintang lima, dengan Jeffrian yang baru saja menawarkan sebuah komitmen sakral padanya sambil menunjukkan sebuah cincin cantik dan elegan yang desainnya hampir menyerupai cincin tunangan yang pernah dipakai oleh mendiang Putri Diana.
Jocelyn mendadak gagu sejenak dibuatnya, tidak bisa mengatakan apa-apa—hell, dia bahkan tidak bisa berpikir harus mengatakan apa sebagai tanggapan—dan hanya menatap bergantian antara cincin di dalam kotak beludru merah, tersaji di atas piring seperti hidangan penutup super-mewah, dengan Jeffrian yang tersenyum bak malaikat jatuh di hadapannya.
"Jocelyn." Jeffrian berujar ketika menit berlalu namun Jocelyn sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda kalau dia hendak mengatakan sesuatu sebagai respon terkait lamarannya baru saja. Entah masih terkejut, atau sedang menyusun kata-kata untuk menolaknya—well, apa pun asalkan jangan yang kedua. "Now, if you're going to reject me, just say so. Tapi jangan berharap kalau aku bakal berhenti di sini." Dia menatap perempuan di hadapannya dengan serius. "I will not go down quietly; I will fight for your heart, and I'll win it."
Jocelyn membuka mulutnya, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Dia masih terlalu terkejut untuk berkata-kata. Masih tidak menduga Jeffrian akan melamarnya secepat ini—kurang dari setengah tahun sejak pertemuan mereka di atas kapal pesiar, dan selang satu bulan sejak hari kelabu ketika ayahnya dimakamkan. Bukannya hal itu tidak etis, hanya saja... bukankah masih ada banyak hal yang harus mereka bicarakan—kompromikan—seandainya mereka ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH & HOPE
Romansa"Heartbreak is a loss. Divorce is a piece of paper." Faith Nefertari and Hope Tirtasana, eight-year-old identical twins, were separated shortly after birth and raised by one of their biological parents: Faith with her mother Jocelyn Nefertari and Ho...