"Waktumu untuk beristirahat kali ini hanya tiga puluh menit, lakukanlah dengan cepat karena kita masih memiliki banyak pekerjaan yang harus kita lakukan."
Ya, yang barusan kalian dengar adalah kalimat perintah dari atasanku yang bahkan tidak repot-repot untuk menatapku yang berdiri di hadapannya, dia yang seperti tidak mengenal rasa lapar memegang sebuah bolpoin di tangan kanannya, matanya bergerak membaca berkas yang ada di hadapannya sekarang.
"Baik, aku akan segera kembali." Aku hanya menjawab dengan singkat sebelum sedikit membungkuk dan keluar dari ruangan besarnya, menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dari mulutku, mendesah pelan.
Kalian harus tahu rasanya punggungku sangat pegal karena setengah hari ini aku habiskan dengan duduk di ruangan meeting bersama atasanku, perusahaan yang baru saja mendapatkan proyek besar harus berkerja begitu maksimal karena atasanku barusan adalah seorang perfeksionis, dia ingin semua orang bekerja sempurna meski sebenarnya, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, setuju denganku?
Bahkan setelah kembali dari ruang rapat, atasanku yang satu itu juga masih memberi banyak tugas untukku, ya tugas-tugas itu memang harus aku kerjakan, tapi apa dia mengenal yang namanya jeda? Setidaknya biarkan aku bernafas sebentar.
Dia juga sudah menyita tiga puluh menit waktu istirahatku, semua orang mendapatkan waktu satu jam untuk beristirahat hari ini tapi aku hanya mendapat setengahnya, hah~ bekerja di perusahaan besar memang tidak main-main, meski aku tidak dapat memungkiri jika gajinya juga tidak main-main.
Tidak ingin menyia-nyiakan waktu istirahatku secara percuma, aku melangkahkan kakiku menuju lift, dengan name tag yang tergantung di leherku, aku menggunakan kartu yang digunakan sebagai kunci ini untuk turun ke bawah dan menikmati makan siangku.
Perusahaan ini untungnya menyediakan fasilitas makan siang untuk semua karyawan yang letaknya di lantai satu, cukup menguntungkan karena dengan begitu, aku tidak perlu repot-repot memikirkan apa yang harus aku makan setiap siangnya, meski terkadang aku yang berasal dari Thailand ini masih terasa asing dengan makanan khas Korea, tapi aku mencoba untuk beradaptasi.
Ah ya, aku sudah berbicara banyak namun kalian belum mengetahui namaku, aku Lalisa, kalian bisa memanggilku Lisa, sebenarnya Lili juga bukan masalah tapi itu hanya untuk orang-orang terdekat seperti keluargaku, sahabatku mengetahui tentang panggilan ini namun aku merasa geli jika mereka sudah memanggilku dengan panggilan Lili, entah kenapa, aku juga tidak mengerti.
Mungkin jika aku memiliki kekasih nanti, aku akan mengijinkan kekasihku untuk memanggilku dengan sebutan itu, tapi sayangnya untuk sekarang tidak, aku juga tidak terlalu memikirkannya, memiliki kekasih bukan pilihan terbaik sekarang dengan setumpuk pekerjaan yang di limpahkan atasanku padaku, bisa jadi, nantinya kekasihku akan muak karena aku terus mengabaikannya dan berkerja sepanjang hari.
Asal jangan memanggilku dengan sebutan Sasa, Lala, atau yang lainnya, haish, intinya, panggil saja aku Lisa, margaku adalah Manoban, salah satu marga yang cukup terpandang di negara Thailand, khususunya kota kelahiranku, setiap nama Manoban di ucapkan, maka orang-orang akan mengetahui jika kami berasal dari golongan kelas atas.
Ya, meski aku menyandang marga dari golongan kelas atas yang tepatnya berasal dari kakekku atau ayah dari ibu kandungku, tapi kami bukan orang kelas atas dalam artian orang yang memiliki banyak uang, hidup keluargaku sedari dulu sederhana, namun berkecukupan.
Aku sempat bertanya pada ibu kandungku tentang kenapa aku menyandang marga dari kakek dan bukan marga dari ayahku, sempat berpikir aku bukan anak kandung dari ayahku? Tentu saja iya! Tapi ternyata bukan seperti itu alasannya.
Saat itu, mereka belum memiliki surat pernikahan yang sah di mata hukum, yang artinya, ayah dan ibuku hanya menikah secara sah dalam agama, itu kenapa saat aku lahir, aku tidak boleh menyandang marga ayahku karena hal itu tidak di ijinkan dalam adat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIGHT IN THE DARK - JENLISA [G×G]
FanfictionMenjadi pemimpin mungkin adalah impian semua orang, tapi hal itu membuat hidup Jennie menjadi monoton, dengan terus melakukan hal yang sama setiap harinya, CEO muda itu merasa bosan dan kesepian meski dia memiliki harta yang tak ternilai jumlahnya. ...